Tuesday, April 24, 2007

PENDIDIKAN PEMBEBASAN

PENDIDIKAN PEMBEBASAN
DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Ruchman Basori
(Staf Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim.
Menyelesaikan S-1 jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo Semarang,
saat ini sedang menempuh studi pada Program Pascasarjana (S-2)
Pemikiran Pendidikan Islam pada almamater yang sama)


Pendahuluan
Islam adalah agama universal, menjadi pegangan hidup manusia. Di dalamnya mengandung pranata sosial, politik, ekonomi, budaya maupun pendidikan. Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam bagi struktur yang menindas. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice).
Islam melalui al-Quran dan Hadits melarang praktek-praktek penindasan dan ketidakadilan. Sebaliknya memberi ruang bagi terciptanya kebebasan kepada manusia, sehingga Islam disebut sebagaiu agama pembebas kaum mustadhafin. Baik lemah secara material, pemikiran maupun mentalitas serta kreatifitas. Oleh banyak penulis sejarah, kata Jalaludin Rahmat, Islam bukan saja dianggap sebagai agama baru, melainkan juga liberating force--sesutau kekutan pembebas umat manusia. Hal inilah yang menyebabkan agama Islam cepat menyebar di jazirah Arab dan juga Indonesia.
Di sisi lain, secara faktual umat Islam masih tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain, khususnya dalam pengembangan sumber daya manusia, teknologi, dan kebudayaan. Hal ini dikarenakan pendidikan Islam belum berdaya secara optimal. Pendidikan Islam hanya mencetak muqallid-miqallid baru, kurang kritis, gagap menghadapi perubahan sarta kurang peka terhadap relitas sosialnya. Terjadi kesenjangan antara teks ajaran dengan konteks sosial masyarakat.
Praktek-praktek pendidikan yang kurang membebaskan menjadi pemandangan seharai-hari di negara muslim, seperti para guru cenderung otoriter dan doktriner, siswa hanya dianggap obyek pendidikan, struktur politik negara yang hegemonik, dan kurikulum yang kurang memberi ruang kekrtitisan, dialog, debat dan bentuk-bentuk kecerdasan lainnya. Murid menjadi konsumeristik terhadap hal-hal baru tanpa disertai dialog-partisipatoris dengan lingkungan soaio-education secara wajar. Yang ada hanya pemaksaan kehendak, pemasungan kreatifitas yang telah terstruktur sekian lama.
Orintasi pendidikan mestinya tidak sekedar untuk memenuhi pangsa pasar tenaga kerja, tetapi lebih dari itu sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, penanaman niali-nilai dan pengalaman, pengembangan ketrampilan, kebudayaan peserta didik.
Kemampun kita mengartikulasikan pendidikan Islam yang membebaskan dalam konsep yang jelas menjadi keharusan, mengingat Islam bukan agama yang statis melainkan sistem nilai yang dinamis, humanis dan transformatif. Kehadiran konsep pendidikan pemebebasan sangat diharapkan bagi khasanah pendidikan Islam, mengingat : Pertama, Islam mempunyai potensi sebagai agama pembebas, hal ini dapat dilihat pada ajaran-ajaran Islam yang revolusioner, seperti ajaran tentang keadilan, anti diskriminasi, pluralisme, perlindungan terhadap yang lemah dan nir kekerasan; Kedua, Islam sebagai agama besar mempunyai pemgikut yang harus diselamatkan dari kehancuran, karena kaum penindas kian hari semakin bertambah; Ketiga, Menggali dan mengembangkan paradigma pendidikan Islam yang membebaskan dalam menyiapkan generasi Islam di masa depan, disaat wajah pendidikan kita sangat membelenggu.
Dalam tulisan ini akan di bicarakan kaitan Islam dengan pendidikan pembebasan. Bagaimana konsep Islam dalam menjawab pendidikan yang membelenggu kratifitas, dan ketrampilan anak didik. Untuk itu term-term kecil yang akan di bahas adalah : Islam dan pembebasan, kebebasam manusia dan konsep pendidikan Islam yang membebaskan.

Islam dan Pembebasan
Untuk membahas tema diatas, terlebih dahulu akan dibahas tentang konsep Islam dan pembebasan. Hal ini untuk memberi landasan paradigmatik serta teologis bagi pengembangan pendidikan Islam. Term-term utama dalam kaitannya dengan Islam dan pembebasan adalah konsep tentang kebebasan, tauhid, iman dan jihad yang selanjutnya akan terformulasikan menjadi teologi pembebasan dalam Islam.
Teologi pembebasan adalah suatu teologi yang menekankan pada arti kebebasan, persamaan, dan keadilan distribusi dan menolak penindasan, penganiayaan dan eksploitasi manusia. Teologi pembebasan menolak adanya pemaksaan kehendak individu maupun kelompok yang akan melahirkan penindasan pada kelompok lain Disini ditekankan adanya humanisme dalam tata pembangunan sosial yang beradab.
Teologi pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang sudah baku, dan harus terus menerus secara konstan untuk menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru. Oleh karena itulah konsep kebebasan (liberty) menjadi komponen utama dari teologi pembebasan. Kebebasan memilih dan kebebasan untuk keluar (transendensi diri) menuju kehidupan yang lebih baik dan juga untuk menghubungkan dirinya pada kondisi yang berubah-ubah secara berarti.
Menurut Asghar Ali Enginer, ada empat ciri-ciri dari teologi pembebasan yaitu : (1). Dimulai dengan melihat kehidupan manusia didunia dan diakhirat; (2). Teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya berhadapan dengan golongan miskin, dengan kata lain anti kemapanan baik religius maupun politik; (3). Membela kelompok tertindas serta memperjuangkan untuk merlakukan perlawanan; (4). Tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang taqdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga mengakui bahwa manusia bebas menentukan nasibnya sendiri.
Muhammad SAW telah mewujudkan agama Islam menjadi kekuatan revolusioner yang membahayakan kaum kaya, bangsawan waktu itu, melarang riba, menimbun harta, menghapus perbudakan, mengangkat derajat kaum wanita, menganggap sama antara suku ras dan golongan dan hanya diukur dari kadar ketaqwaannya.
Muhammad lahir diatas masyarakat yang tegak atas penindasan. Sekelompok masyarakat, hidup diatas penderitaan sejumlah besar masyarakat. Maysrakat waktu itu terbagi kedalam dua bagian besar : golongan merdeka dan golongan budak belian; Dalam hal kekayaan mereka terbagi atas kaya dan miskin. Dalam kekuatan politik mereka hanya mengenal yang kuat dan yang lemah (al mala’ wa al-du’afa). Masyarakat waktu itu terseting sedemikian rupa menjadi kelas soaial yang begitu tajam. Rasul mengajarkan risalahnya, bahwa yang agung hanya Alah, semua manusia sama disisinya. Yang paling mulia hanyalah diukur dari ketaqwaannya, bukan pangkat, derajat, kekayaan, nasab dan lain-lain. Dalam wacana teologi pembebasan manusia hanya tunduk dan pasrah kepada Tuhan, bukan pada manusia, ilmu pengetahuan atau kekuasaan.
Untuk mewujudkan teologi pembebasan ada beberapa aspek mendasar yang perlu diperhatikan, yaitu : Pertama, Liberatif yang praktis-dialektis yaitu apa yang ada dan apa yang seharusnya; Kedua, Jihad dalam Islam adalah untuk menolong yang tertindas, bukan untuk meraih kekuasaan. Bukan jihad yang dipolitisir untuk kepentingan kelompok tertentu, tapi benar-benar karena Allâh yang kemudian termanifestasikan dalam upaya membebaskan manusia dari belenggu; Ketiga, Tauhid, dalam rangka mengembangkan struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala macam perubudakan. Tauhid tidak sekedar di artikan ke-Esaan Tuhan tapi juga dengan keasatuan manusia yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa penciptaan masyarakat yang tanpa kelas. Tauhid inilah yang akan menjadi ruh gerakan perjuangan melawan kedzaliman (kelompok penindas); Keempat, Konsep iman. Iman kepada Allâh akan mengantar manusia kepada perjuangan menciptakan masyarakat berkeadilan. Tanpa iman manusia akan kosong dan tidak berakar pada kedalaman pribadinya.
Aspek pertama dan kedua merupakan implementasi praktis dari aspek ketiga dan keempat yang merupakan landasan paradigmatik yang mendasar bagi teologi pembebasan, yang itu semua sebagai wujud dari dialektika antara relasi manusia dengan Tuhan dan relasi manusia dengan mansia.
Dalam konteks inilah maka Nabi Muhammad SAW berusaha membebaskan kaum mustadhafin dengan cara : Pertama, membangkitkan harga diri rakyat kecil dan dhu`afa, membangkitkan harga diri fuqara dan masakin, karena mereka itulah yang selama ini direndahkan dan di caci maki; Untuk tujuan itu Rasul menempuhnya dengan cara hidup bersama ditengah-tengah mereka; Kedua, Sebagai pemimpin orang kecil pembebas kaum mustadhafin, beliau memilih pola hidup seperti mereka yaitu dengan hidup sederhana.
Itulah beberapa hal yang dapat kita lihat dari doktrin teologis, teologi pembebasan Islam, sebagai landasan utama perjuangan misi ilahiyah dan profetis yang harus kita teladani yang berpijak pada ajaran dasar Islam melalui sumber teks dan perjalanan sejarah Islam yang obyektif. Kita akan berusaha menggali konsep ajaran Islam tentang pembebasan bukan sekedar adopsi dari sana-sini.

Kebebasan Manusia dan Transformasi Sosial
Tujuan diciptakan manusia adalah sebagai hamba (`abdun) dan pemimpin dimuka bumi (khalifah fiI al-Ardh). Menyembah dalam pengertian yang luas tidak sekedar menjalankan rukun Islam yang lima, akan tetapi tunduk dan patuh secara proporsional dan kreatif pada ibadah-ibadan sosial. Sebagai khalifah akan senantiasa melakukan hubungan horisontal-kreatif dengan sesama manusia berupa sifat perjuangan menentang ketidakadilan dan berjuang melawan kemandegan berfikir (statis). Wujud dari hal itu manusia mampu membebaskan dirinya dari kekangan nafsu yang mendorong melakukan kejahatan.
Allâh SWT telah memberikan sebagian otoritasnya kepada manusia sebagai khalifah-Nya dibumi yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, dan porsi kekuasaan terbesar lainnya tetap ditangan-Nya. Sehingga manusia berada di diantara dua kutub : qudrah Alah dan kemauan bebasnya.
Dari berbagai tujuan, baik common sense, psikologis maupun etika, manusia mempunyai kebebasan. Dia tidak hanya memiliki kemauan tetapi juga kebebasan untuk memilih tindakannya. Kecenderungan kemauan manusia pada hakikatnya adalah kebaikan, karena manusia mempunyai potensi kebaikan yang dinamakan hati nurani. Manusia memiliki kognitif (daya cipta, rasional) yang bersifat kreatif dan selektif.
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Potensi kebebasan tersebut harus dapat didayagunakan untuk menginternalisasikan sekaligus mensosialisasikan teologi pembebasan dalam Islam tersebut, sebagai spirit bagi produktivitas manusia dalam pembangunan dan melakukan reformasi atau revolusi. Teologi pembebasan harus dapat menjadi ruh gerakan bagi progresivitas manusia yang tercerahkan.
Pada hakikatnya manusia ditempatkan dan berkaitan dengan potensi-potensi baik positif maupun negatif, yaitu : (a). Manusia itu cenderung beragama; (b). Manusia itu memiliki hawa nafsu;.(c). Manusia adalah makhluk yang mempunyai hati nurani; (d). Sebagai makhluk yang dapat mengenal diri sendiri dan mengadakan introspeksi (e). Manusia memiliki kebebasan kehendak;
Disamping itu juga ada potensi manusia yang destruktif atau bersifat merusak seperti : (a). Cenderung melakukan kerusakan dan saling bermusuhan; (b). Sangat mencintai kehidupan, harta dan kenikmatan; (c). Mendewa-dewakan hawa nafsu; (d). Selalu digoda iblis dan setan yang mengajarkan berbuat sesuatu yang hina (e). Memiliki sifat halu’a; (f). Makhluk yang lemah; (g). Makhluk pelupa.
Kedua potensi di atas antara yang baik dan buruk, akan sangat ditentukan oleh manusia dalam mengelola dan memanfaatkan peluang kebebasan yang diberikan agama yang berasal dari Tuhan. Karena agama telah memberi batasan kebaikan dan keburukan. Manusia bebas berkehendak dan mamilih. Termasuk disini upaya mewujudkan pendidikan yang membebaskan dapat dilihat dari potensi kebebasan manusia dalam Islam.
Kemampuan manusia untuk menterjemahkan kebebasan Tuhan sangat tergantung pada sejauh mana manusia menggunakan akal dan pikirannya (potensi akliah) yang sekaligus mendapatkan bimbingan wahyu dari Tuhan. Sehingga kebebasan yang dimiliki dalam Islam tidak sekedar untuk kepentingan kemanusiaan, tetapi juga bernuansa teosentris, sebagai bentuk pertanggungjawaban. Islam sangat menghargai dan memberi peluang kebebasan pada manusia untuk berartikulasi dengan daya akal dan pikirannya, mengelola bumi dan langit serta beriteraksi dengan manusia lain.
Di sisi lain, dengan kebebasan itu manusia mempunyai tugas sebagai khalifatullah fil-ardhl, yang salah satu wujudnya adalah harus melakukan tugas-tugas perubahan sosial (transformasi sosial). Islam menurut Edward Mortimer, sebagaiman dikutip Jalaluddin Rahmat, lebih banyak menekankan dimensi sosial ketimbang dimensi ritual keagamaan, sehingga ia melihat Islam sebagai political culture .
Dalam perspektif Islam, transfoirmasi sosial dimaksudkan sebagai perubahan menuju kualitas hidup yang lebih baik, atau perubahan menuju masyarakat yang adil, demokratis dan egaliter. Islam telah menegaskan peranan agama dalam perubahan sosial dengan prinsip-prinsip yang menurut Jalaluddin Rahmat, adalah sebagai berikut : Pertama, Islam memandang bahwa kehadiran agama Islam di dunia dimaksudkan untuk mengubah masyarakat dari berbagai kegelapan kepada cahaya. Islam datang untuk membebaskan umat dari kehidupan yang berdasarkan kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan syariat meuju pengertian halal haram, dari kehidupan yang penuh beban dan belenggu (penindasan) ke arah kebebasan; Kedua, Islam memandang perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individu, dan harus disusul dengan perubahan institusional (Q.S. 13 : 11); Ketiga, Islam memandang bahwa perubahan individu harus bermula dari peningkatan dimensi intelektual (pengenalan) akan syariat Islam, dimensi idiologikal (berpegang pada kalimat tauhid). Dan dimensi ritual harus tercermin pada dimensi sosial.
Dengan kebebasan, manusia Islam dituntut untuk melakukan perubahan sebagai tugas kemanusiaan yang bernuansa profetis, yaitu untuk membebaskan manusia dari belenggu pemikiran, ketidakadilan sistemik dan eksploitasi ekonomi yang meporak-porandakan nilai-nilai kemanusiaan.

Pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia unutk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Pendidikan berarti tidak sekedar transfer of knowledge akan tetapi juga transfer of value juga berorientasi dunia akhirat (teosentris dan antroposentris) sebagi tujuannya.
Sementara itu Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan Islam dengan “bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”. Jadi pendidikan Islam tidak sekedar mengajarkan, tetapi lebih dari itu “membimbing” kearah kepribadian muslim yang utama. Termasuk di sini ajaran universal untuk membebaskan manusia dari struktur yang tiran.
Dari pengertian pendidikan Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam menekankan pentingnya bimbingan, bukan pengajaran. Dengan bimbingan memberi peluang kepada anak didik untuk lebih bebas menuangkan segala potensi yang di milikinya. Guru lebih berperan sebagai fasilitator, pendamping dan penunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak didik. Dengan kerangka dasar seperti ini guru bukanlah segala-galanya sehingga cenderung menganggap anak didik bukan apa-apa, selain manusia yang kosong yang perlu diisi. Diharapkan guru menghormati anak didik sebagai individu yang memiliki berbagai potensi.
Murid tidak dianggap seperti botol kosong, yang dapat diarahkan semaunya akan tetapi murid telah mempunyai potensi yang perlu dikembangkan ke arah yang mendewasakan, sehingga dapat memikul tugas-tugas perubahan, apalagi menghadapi masyarakat yang lemah dan marginal baik secara politik, ekonomi, sosial dan budaya seperti di Indonesia.
Pendidikan juga merupakan upaya memanusiakan manusia dengan komunikasi antara sesama manusia dan linghkungannya. Bagi pendidikan Islam ditambah dengan – dan dengan Tuhannya. Ungkapan ini menandaskan bahwa mansuia tidak otomatis menjadi manusia yang sebanrnya tanpa bantuan pendidikan. Selama manusia menjadi manusia tetap memerlukan pendidikan karena pendidikan berlangsaung seumur hidup (long live education).
Ciri lain dari pendidikan adalah adanya kualitas pertumbuhan organisasi yang hidup. Akibatnya pendidikan selalu berubah untuk menyesuaikan perubahan dan perkembangan zaman. Pendidikan mengalami transformasi. Dalam kaitannya dengan hal ini Schgeffler ed Joe Prak sebagaimana dikutip Ludjito, mengatakan : Education, like art, literature and other phases of social life, has changing styles in problems in response to changing condition. Pendidikan juga berarti suatu proses yang bersifat dinamis yang menyangkut berbagai unsur manusia maupun non manusia. Proses ini oleh sosiolog biasanya disebut proses sosialisasi dan oleh antropolog disebut inkultrurasi. Dari kedua proses ini lahir berbagai macam teknik pelaksanaanya yang dinamakan metodologi pendidikan dan pengaajaran.
Untuk memberikan gambaran tentang ciri pendidikan Islam, Azumardi Azra memberikan rumusan bahwa ciri pendidikan Islam adalah : Pertama, Penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allâh SWT. Sebagai ibadah maka dalam pencarian, pendidikan Islam sangat menekankan nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini maka kejujuran, sikap tawadu’, menghormati sumber pengetahuan merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu dipegangi oleh setiap pencari ilmu. Kedua, Pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam satu kepibadian; Ketiga, Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tangungjawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia.
Dari karakteristrik diatas dapat dilihat adanya keseimbangan antara iman, ilmu dan amal, antara apa yang ada dalam pikiran dan aktualisasi kreatifitas nyata anak didik, dan juga adanya potensi pendidikan pembebas berupa penyaluran potensi manusia secara maksimal.
Secara umum tujuan pendidikan menurut Park adalah mencapai titik optimal dari pengembangan seluruh potensi manusia (fitrah), sehingga bisa menghadapi semua tantangan dan rintangan dalam perjalanan hidupnya. Bertnan Russel mengemukakan empat karakterisatik universal tujuan pendidikan yaitu : vitality (vitalitas), ialah kesegaran dan kebugaran jasmani; Caurage (keberanian) yaitu bebas dari ketakutan yang tak beralasan, sencitivennness (tepo saliro) yaitu menaruh perhatian yang cukup pada orang lain; intellegence yaitu penuh gairah untuk selalu ingin tahu dengan berbagai akltivitas keilmuan dan pikiran yang terbuka
Sementara itu UNESCO (2001) telah merumuskan visi dasar pendidikan abad 21, sebagai bekal mengembangkan pendidikan di jagad ini, yaitu : (1). Belajar bagaimana berfikir, learning to think, (2). Belajar bagaimana mengetahui, learning to know, (3). Belajar hidup atau belajar bagaimana berbuat/bekerja, learning to do, (4). Belajar bagaimana tetap hidup atau sebagai dirinya, learning to be, dan (5). Belajar untuk hidup bersama, learning to live together.
Dalam perspektif Islam, tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Pertama, Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan dimuka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-trugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan; Kedua, Mengarahkann manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kehalifahannya dimuka bumi diaksanakan dalam rangka beribahdah kepada Allâh, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan; Ketiga, Mengarahkan manusia agar berahkak mulia, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kehalifahannya; Keempat, Membina dan megarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan ketrampilan yang dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kehalifahannya; Kelima, Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat Tujuan tersebut kalau diringkas akan menciptakan anak didik menjadi manusia betrytaqwa kepada Alah Swt dan berahlakuik karoimah.
Dari tujuan pendidikan Islam yang umum ini diaplikasikan menjadi tujuan pendidikan yang khusus, melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam secara komprehensif, sehingga tujuan mencerdaskan dan membimbing kearah keluhuran budi agar tercipta manusia utama yaitu manusia yang senantiasa bebas mengaktualisasikan potensi yang dimiliki akan tercapai.
Pendidikan Islam harus komprehensif dalam membimbing anak didik baik dari segi tujuan, kurikulum mapun lingkungan yang kondusif bagi terciptanya suasana yang demokratis, humanis dengan paradigma pembebasan. Untuk melakukan transformasi sosial memiliki prasayarat yaitu manusia tercerahkan, kreatif dan dinamis. Pemberdayaannya adalah melalui pendidikan pembebasan, yang dilakukan oleh tripartit pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan Islam diharapkan lebih bercorak pembebasan daripada penindasan. Melalui potensi diatas semoga upaya menjadikan pendidikan yang transformatif dan membebaskan dapat terwujud. Maka unsur humanisme, demokratis dan egaliter menjadi penyangga utama bagi berlangsungnya praktek pendidikan yang membebaskan.

Pendidikan yang Membebas
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat sekuler, terutama kerana pendidikan Islam tidak hanya didasarkan atas hasil pemikiran manusia, dalam menuju kemaslahatan umum atau hunanisme universal. Pendidikan Islam pada akhirnya bermuara pada pembentukan manusia sesuai dengan kodratnya yang mencakup dimensi imanensi (horisontal) dan dimensi transendensi (vertikal : hubungan dan pertanggungjawaban pada Tuhan).
Wacana pendidikan dengan paradigma pembebasan ini mula-mula terlontar dari para pemikir Katolik di Amerika Latin, seperti Paulo Freire. Ia melakukan pemberontakan akibat dominasi kelompok tertentu yang terbuai dalam struktur yang menindas. Friere mengkritik pendidikan gaya bank, dimana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukan inter komunikasi, tapi guru mnyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan di ulangi dengan penuh oleh para murid. Ruang gerak yang diberikan kepada murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.
Dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakn sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan, kepada mereka yang dianggap tidak berpengetahuan. Menganggap bodoh kepada orang lain sebagai bentuk pendidikan penindasan.
Gambaran pendidikan gaya bank dapat dilihat pada ilusatrasi sebagai berikut : (1). Guru mrngajar murid diajar (2). Guru mengetahui segala sesuatu murid tidak tahu apa-apa (3). Guru berfikir, murid dipikirkan (4). Guru bercerita, murid patuh mendengarkan (5). Guru menentuka peeraturan murid diatur (6). Giuu memilih dan melaksanakan poilihannya muriod menyetujiui (7). Guru bewrbuat murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya (8). Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menuyesuaikan dengan pelajaran itu (9). Guru mencampur adukan kewenagan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid (10). Guru adalh subyek dalam proses belajar mengajar.
Secara praksis Hanif Dzakiri menggambarkan praktek-praktek pendidikan yang menindas seperti budaya anti dialog, pendekatan pendidikan kaum penindas biasanya mengabaikan bahkan sengaja menhilangkan komunikasi sebagai aspek penting dalam meningkatkan derajat manusia. Dalam melestarasikan pendidikan anti dialog ini mereka melakukan beberapa cara seperti : Bangga menaklukan pihak lain baik sengaja maupun tidak sengaja, memecahbelah dan menguasai, memanipulasi untuk melenggengkan dominasi. Arah semua itu akan mengaburkan makna kebudayaan, dimana akan menjadikan budaya menjadi kepentingan pihak penindas, kaum tertindas dibuat tak berdaya karena semuanya telah dimanipulasi sedemikian rupa.
Sementara itu dalam pendidikan Islam terdapat peraktek-praktek pendidikan yang kurang mencerminkan pendidikan pembebasan, yaitu : Pertama, arah pendidikan yang kurang integral/komprehensif. Maksdunya adalah pendidikan Islam sering tidak menekankan ranah afeksi (nilai dan sikap) dan psikomotorik (prilaku dan penerapan) namun lebih menekankan ranah kognisi (hafalan dan pengetahuan); Kedua, Tiadanya kebebesan akademis dan kurang mencerminkan pendidikan yang demokratis. Pendidikan dijadikan ajang indoktrinasi dan pemaksaan-pemaksaan paham. Guru sering berprilaku otoriter dan doktriner. Ketiga, Kurang adanya kemandirian dan tidak dibebaaskan untuk menghasilkan berbagai produk kreatif dan inovatif, sebab dipenuhi oleh intervensi kekuasaan; Keempat, budaya dialog yang sejak masa Nabi hingga masa tabi’in melalui tradisi mujadalah, telah lama redup akibat umat Islam dirundung kejumudan yang berkepanjangan. Hal ini dipicu dengan anggapan pintu ijtihad telah tertutup., sehingga menjadikan tradisi keilmuan Islam mandul; Kelima, Sering terjadi praktek kekerasan dalam dinia pendidikan kita. Kekerasan telah menjadi budaya masyarakat. Sebagai contoh masih dominannya antara hukuman daripada ganjaran, apalagi hukuman fisik yang sama sekali jauh dari nilai-nilai humanisme.
Mengingat pendidikan adalah transfer, sosialisasi dan enkulturasi ilmu, nilai dan norma dan berfungsi sebagai pengembangan potensi, pewarisan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya, maka perlu pembumian konsep pendidikan Islam yang humanis, demokratis, progresif. Dengan kata lain perlu pendidikan pembebasan agar tujuan menciptaan manusia yang dewasa, mandiri, dan pandai menghargai orang lain dapat tercapai. Pengembangan potensi dapat berupa potensi intelektual, sikap dan prilaku yang berupa penanaman nilai-nilai kebaikan, keadilan, kebenaran, dan kejujuran serta memperteguh aspek budaya sebagai tiang pancang kreatifitas daya cipta, rasa dan karsa manusia.
Untuk meneliti dan melacak konsep pendidikan Islam yang membebaskan, harus kembali pada landasan teologis Islam yaitu tauhid. Manusia dihadapan Tuhan adalah sama. Iman berimplikasi pada semangat juang (revolusioner) untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran dan mencerahkan masyarakat yang terbodohkan.
Konsep Islam tentang pembebasan sesuai dengan misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ajaran tauhid sebagai kunci pokok Islam, dengan jelas menunjukan bahwa tidak ada penghambaan/penyembahan kecuali kepada Allah, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Seorang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat berarti telah melpaskan dirinya dari belenggu dan subordinasi apapun.
Pendidikan sebagai pranata sosial juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakikat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran, bahwa manusia itu sama didepan Allah. Pembedanya adalah kadar ketaqwaan sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif.
Pemilikan ilmu dalam pandangan Islam diharapkan mampu memupuk dan mempertebal keimanan. Kaitan antara iman dan ilmu, menurut Jalaludin Rahmat, adalah bahwa iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme, kemunduran, tahyul dan kebodohan. Sebaliknya ilmu tanpa iman akan membuat manusia menjadi rakus, dan berusaha maksimal memuaskan kerakusannya, kepongahannya, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Jika dilihat dari persepktif ini, Islam merupakan agama yang memadukan iman dan ilmu yang kemudian melahirkan amal. Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan mampu menumbuhkan pemahaman yang benar tentang hakikat eksistensi manusia. Pendidikan dunia akhirat inilah yang bisa menjamin kelestarian nilai-nilai kemnusiaan dimasa mendatang.
Dapat disimpulkan bahwa, Islam adalah agama yang consen terhadap upaya pembebasan manusia tercermin dari teologi pembebasannya. Secara idealistik melalui ajaran normatif dan historinya, Islam sangat menekankan pendidikan pembebasan. Namun secara realistik masih perlu perjuangan, tekad dan kemauan mewujudkan pendidikan Islam yang membebaskan. Hal ini dapat melalui perobakan paradigmatik, maupun teknis se[perti perubahan kurikulum pendidikan yang kondusif bagi tumbuhnya semangat pembebasan, demokrasi dan humanisme.
Beberapa alternartif rumusan pendidikan pembebasan dalam Islam yang dapat dilakukan adalah sebagai berukut : Pertama, Adanya kurikulum yang dinamis. Islam sepanjang masa kegemilangannya, memandang kurikulum pendidikan sebagai alat untuk mendidik generasi muda, dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat minbat, kekuatan-kekuatan dan ketrampilanb serta menyiapkan mereka dengan baik untuk mengajarkan hak dan kewajiban memikul tanggungjawab terhadap diri, keluarga, bangsaanya dan aktif memajukan masyarakat.
Kurikulum pendidikan Islam harus dinamis dan memberi ruang bagi terwujudnya kreatifitas peserta didik, mempunyai semangat untuk melakukan perubahan sosial, kritis terhadap kekuasaan atau struktur yang tiran. Kurikulum pendidikan Islam harus integral dan much dengan kondisi sosial masyarakat. Sehingga pendidikan dapat dijadikan sebagai energi dan spirit perubahan sosial,
Tuujuan pendidikan harus diarahkan pada pembentukan pribadi yang bermental pembebas, humanis dan demokratis. Metode yang digunkan adalah latihan, pembiasaan, contoh (uswah hasanah), hadiah dan hukuman (reward and punishman). Juga metode pengajaran yang dapat mengantarkan pada kebebasan berpikir anak didik, seperti debat, diskusi, dialog, problem solving sehingga mereka mampu membaca realitas masyarakatnya dengan baik.
Kedua, Perubahan paradigma pendidikan Islam, yaitu merubah paradigma dari paradigma otoriter ke paradigma demokratis, tertutup ke keterbukaan, doktriner ke partsiipatoris. Perombakan paradigmatik tidak bisa ditawar lagi, mengingat kompleksitas problem umat semakin meningkat; Ketiga, Adanya sinkrionisasi antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat dimana pendidikan yang berorientasi pembebasan dapat tercapai. Masyarakat perlu membudayakan tradisi kritik, dialog, keterbukaan, semangat pluralisme dan praktek-praktek praktis yang menyentuh problem-problem kaum mustadhafin. Baik secara politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Tentu dengan pendekatan kultural akan sangat berarti dalam mencerahkan rakyat dalam program penyadaran dan pemberdayaan bukan pemaksaan.
Setidaknya kegelisahan akan model pendidikan yang membodohkan dan hanya berorientasi knowledge ansich dan kurang memepertimbangkan pada nilai (value) dapat teratasi. Mengingat kebutuhan manusia yang berpihak pada nilai, tidak sekedar kepentingan sesaat sangat diharapkan, disaat kita melakukan tugas-tugas liberatif atau pemberdayaan masyarakat.
Demikian tulisan sederhana ini saya buat, semoga ikhtiar dan harapan mewujudkan pendidikan yang membebaskan akan terwujud. Semoga bermanfaat dan menjadi sumbangan berarti bagi pengembangan pendidikan Islam dimasa mendatang.












DAFTAR PUSTAKA


Prof. Drs. H.A Ludjito, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, Seminar Sehari SMF Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang 14 Oktober 1995.

Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung : Mizan, 1997

Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, Yogjakarta : LKiS, 1993

Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999

Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam A. Syafii Ma’arif dkk., Pendidikan di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991

Hanif Dzakiri, Islam dan Pembebasan, Jakarta : Djambatan dan Pena, 2000

Hasan Langgulung, Beberapa Pengertaian Tentang Pendidikan Islam, Bandung : Al Maarif, 1980

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Al-Maarif, 1980

Prof. Dr. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999

Drs. H. Abudin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta : LP3S, 1995

Dr. Ramayulis, Guru Agama Cenderung Otoriter dan Doktriner, Kompas, 1994

Drs. Muhaimin, M.A dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : Trigenda Karya, 1993

Al-Taumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983

No comments: