Tuesday, May 8, 2007

SISI LEMAH MANUSIA

SISI LEMAH MANUSIA

Oleh: Amir Tajrid, M.Ag.
(Staf Pengajar Pada STAIN Samarinda)

Al-Maududi, dalam magnum opusnya, Adab al-Dunya Wa al-Din, mengatakan: Al-insanu Madaniyyun bithab’ihi. Manusia hidup dan berperadaban sesuai dengan watak dan karakter yang dimilikinya. Watak dan karakter manusia yang telah menjadi ketentuan Allah SWT adalah bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling banyak kebutuhan (hajat) dan keinginannya dibandingkan dengan makhluk yang lainnya (an khalaqahum wafatharahum muhtajin).
Marilah kita bandingkan antara kebutuhan manusia dan makhluk Allah SWT yang lain. Misalnya antara manusia dengan seekor cacing atau manusia dengan seekor kerbau. Seekor cacing dan seekor kerbau hanya membutuhkan kebutuhan primer saja yakni butuh makan dan minum serta butuh penyaluran hasrat biologisnya. Sedangkan manusia, disamping membutuhkan makan dan minum serta penyaluran biologis, ia juga membutuhkan hal-hal lain untuk memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya sekedar makan dan minum serta penyaluran hasrat biologis. Manusia membutuhkan situasi kenyamanan dan keamanan dalam hidupnya.
Oleh karena itu, dari berbagai banyaknya kebutuhan yang wajib dipenuhi manusia muncul adanya hierarchi kebutuhan dalam diri manusia. Di sana ada yang disebut dengan kebutuhan primer, kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh manusia dalam keadaan apapun. Dalam Islam kebutuhan ini dinamakan dengan dharuriyat. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi dengan sempurna, maka kehidupan manusia akan mengalami distabilitas, mengalami ketidak seimbangan.
Disamping kebutuhan primer, di sana ada juga yang disebut dengan kebutuhan sekunder, dalam Islam diistilahkan dengan hajjiyat. Yakni kebutuhan yang menempati level di bawah kebutuhan primer. Keberadaannya menjadi pemicu bagi kestabilan kehidupan manusia.
Dan yang terakhir adalah apa yang disebut dengan kebutuhan tersier, yang dalam Islam dinamakan tahsiniyat, yakni kebutuhan yang dapat mejadikan kehidupan manusia mengalami kenyamanan dan kebahagiaan secara sempurna. Tiga kebutuhan tersebut dalam istilah Abraham Maslow adalah kebutuhan yang secara mendasar harus dipenuhi oleh manusia. Bahkan menurutnya kebutuhan manusia akan selalu meningkat sesuai dengan status dan peran yang dimainkan oleh manusia. Dari hierarckhi kebutuhan yang dimiliki oleh manusia tadi dapat disimpulkan bahwa manusia benar-benar makhluk yang paling banyak kebutuhan dan keinginannya.
Seekor binatang dalam memenuhi kebutuhannnya ia bersikap mandiri dan tidak memerlukan bantuan makhluk lain. Ia mengusahakan sendiri keperluan-keperluan yang dibutuhkan tanpa disertai keluh kesah serta keputusasaan. Sikap ini sangat kontras dengan sikap dan kepribadian manusia. Dalam segala hal manusia tidak dapat bekerja dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Manusia mau tidak mau membutuhkan bantuan orang lain dalam merealisasikan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkannya.
Seorang direktur perusahaan misalnya, tetap membutuhkan karyawan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang harus ia wujudkan. Seorang murid ingin sukses dan lulus ujiannya, ia membutuhkan seorang guru yang mengajar dan mendidiknya. Seseorang yang ingin mendapatkan upah, maka ia terlebih dahulu harus bekerja kepada sang majikan. Tidak hanya itu saja, seluruh kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia tidak akan tercapai kecuali mendapatkan bantuan dari orang lain.
Manusia harus sadar, bahwa dalam dirinya ternyata banyak kelemahan. Inilah bentuk kelemahan yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada manusia. Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya: Wakhuliqal insanu dha’ifan. Bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam bentuk yang paling lemah.
Melihat kelemahan manusia ini Allah SWT. Pun tidak tinggal diam begitu saja. Untuk menutupi kelemahan tersebut, kemudian Allah SWT menganugrahkan akal (nalar) kepada manusia disamping sikap dinamis yang dimiliki oleh manusia untuk memperoleh dan menggapai hajat yang ia butuhkan. Dengan akalnya manusia dapat mewujudkan segala impiannya. Inilah kekuatan akal yang dimiliki oleh manusia.
Dengan akalnya manusia dapat menembus bulan. Dengan akalnya manusia dapat manaklukkan lautan. Dengan akalnya manusia dapat manklukkan daratan. Dengan akalnya manusia dapat menaklukkan angkasa luar. Dengan akalnya manusia dapat menjaga keseimbangan langit dan bumi. Dan dengan akalnya pula manusia juga dapat berbuat sebaliknya, yakni merusak alam ini.
Tegasnya, akal merupakan anugrah yang paling nesar yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia setelah iman. Nah, untuk mengerem dan membatasi kebebasan akal yang dikhawatirkan tidak terkendali ini, sebagaimana yang telah dijelaskan, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling lemah diantara makhluk-makhluk lain. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa diciptakannya manusia dalam bentuknya yang paling lemah merupakan bentuk nikmat dan kasih sayang Allah SWT (ni’matun waluthfun minallah), sebagai penyeimbang kekuatan dan kebebasan akal yang kita miliki. Supaya tidak menjadi makhluk yang lepas kendali tanpa ada kekang kendalinya; selalu menjadi makhluk yang tidak sombong karena mendewakan akal pikirannya; dan menjadi makhluk yang santun dan rendah hati kerena sadar akan kelemahan yang ada pada dirinya.
Banyak contoh kelemahan yang ada dalam diri manusia. Bukankah manusia lebih cenderung bersikap melampaui batas. Karena melihat dirinya sebagai yang serba kecukupan. Allah SWT berfirman: Kalla innal insana layathgha. An roahustaghna.
Manusia sering berbuat lalai dan melampaui batas. Diperintahkan memelihara lingkungan, malah sebaliknya merusak lingkungan. Diperintahkan beriman, malah sebaliknya berbuat kekufuran. Diperintahkan bersikap dermawan, malah sebaliknya malah berbuat kikir. Sikap melampaui batas ini muncul diakibatkan oleh adanya perasaan merasa berkecukupan, merasa yang paling tinggi, merasa yang paling kaya, merasa yang paling sempurna. Sifat merasa yang paling inilah merupakan kelemahan manusia.
Kelemahan lainnya adalah bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang suka berkeluh kesah dan kikir. Inilah sifat dasar yang buruk bagi manusia yang perlu dimanagement dengan baik agar potensi ini dapat dikendalikan. Sudah menjadi tabiat manusia dikala ia ditimpa kesusahan, maka sering berkeluhkesah dan menggerutu meratapi nasib yang menimpa dirinya. Dan sebaliknya, jika mendapat kebaikan ia amat kikir. Ia lupa dengan masyarakat sekelilingnya. Sebagaimana telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya: Innal insaana khuliqa halu’a idza massahussarru jazu’a waidza masahulkhairu manu’a.
Sebagai penyeimbang beberapa kelemahan yang dimiliki manusia tadi dan dalam rangka meraih dan memenuhi kebutuhannya, disamping manusia dibekali oleh Allah SWT dengan akal, keinginan, serta sikap dinamis, manusia juga harus mempunyai sikap husnudhon, sikap positif tingking, kepada Allah SWT. Sikap positif tingking ini wajib ditanamkan pada diri seorang muslim dalam upaya mencapai dan memenuhi kebutuahan/hajat hidupnya. Dan ini merupakan satu sebab keberhasilan manusia dalam berbagai usaha yang dilakukannya.
Usaha dalam mencapai kebahagian, baik kebahagiaan dunia maupun akherat harus terus diupayakan secara seimbang. Sebagai manusia tidak boleh mementingkan salah satu diantara keduanya. Sebab antara kehidupan dan akherat, keduanya saling berkaitan. Bahkan kehidupan dunia merupakan pijakan atau landasan pacu bagi kehidupan akherat. Bukankah dikatakan bahwa dunia adalah sawah ladangnya akherat, al-dunya mazra’atul akherah. Kehidupan dunia merupakan bekal bagi kehidupan di akherat nanti.
Oleh karena kehidupan dunia adalah penting. Kita butuh kehidupan dunia juga butuh kehidupan akherat. Kita harus mengambil dan tidak boleh menyia-nyiakannya.
Berkaitan dengan masalah ini sebuah hadits mengatakan dengan jelas: laisa khairukum man taraka dunyahu liakhiratihi waakhiratahu lidunyahu walakin khairukum man akhadza min hadzihi wahadzihi (bukanlah yang terbaik diantara kalian seseorang yang sengaja meninggalkan kehidupan duniawinya hanya karena untuk mengejar kehidupan akheratnya. Tidak pula seseorang yang meninggalkan kehidupan akheratnya hanya karena untuk mengejar kehidupan duniawinya. Akan tetapi yang terbaik diantara kalian adalah seseorang yang mengambil keduanya secara seimbang.
Dengan jelas hadits tadi mengingatkan kita agar memperlakukan secara seimbang terhadap dua kehidupan tersebut. Kita bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan duniawi kita seolah-olah kita akan hidup selama-lamanya. Kita bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan akherat kita seolah-olah besok akan menemui kematian. I’mal lidunyaka kaannaka ta’isyu abada wa’mal li’akhirotika kaannaka tamutu gada.
Urgensi kehidupan dunia sebagaimana yang dikatakan oleh al-Mawardi dapat kita lihat secara seksama. Imam Ali ra. mengatakan: Ni’mal mathiyyah al-dunya fartahiluha tuballighukumul akhirah (sebaik-baik kendaraan adalah dunia. Maka berangkatlah dengan mengendarainya. Niscaya akan membawa kalian sampai ke akherat). Dunia merupakan sarana atau alat mencapai akherat. Dalam kesempatan lain Ali Bin Abu Thalib r.a. menegaskan bahwa dunia merupakan tempat kebenaran bagi siapa saja yang membenarkannya. Dunia merupakan tempat keselamatan bagi siapa saja yang dapat memahaminya, dan tempat perbendaharaan bagi siapa saja yang mengambil bekal darinya. Al-dunya daru sidqin liman sadaqaha wadaru najatin liman fahima anha wadaru ghaniyyin liman tazawwada minha.
Berkenaan dengan upaya dan usaha manusia memenuhi kebutuhannya, yakni kebutuhan akan dunia dan akheratnya, Allah SWT telah memberikan tuntunannya secara jelas sebagaimana yang termuat dalam al-Qur’an. Di sana ditegaskan bahwa ketika manusia telah selesai mengerjakan sesuatu urusan dunia yang dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Maka langkah selanjutnya adalah menyerahkan urusan tersebut kepada Allah. Setelah malakukan ikhtiyar hendaknya harus pula diikuti dengan sikap tawakkal. Atau dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa apabila kita telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka hendaknya segera mengerjakan ibadah kepada Allah SWT seraya berharap akan rahmat dan karunianya. Sebab manusia tidak dapat berharap banyak kecuali hanya berharap kepada Allah SWT. Faidza faraghta fansab waila rabbika farghab. Amin Ya Rabbal Alamin.

No comments: