Monday, April 30, 2007

Makalah Teknologi Informasi

LAYANAN INFORMASI
UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Miftahul Huda
Mahasiswa PPS (S2) Kependidikan Universitas Mulawarman
Jurusan : TEKNOLOGI PENDIDIKAN (TP)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi saat ini telah begitu pesat, sehingga menempatkan suatu bangsa pada kedudukan sejauh mana bangsa tersebut maju didasarkan atas seberapa jauh bangsa itu menguasai kedua bidang tersebut di atas. Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang hidup dalam lingkungan global, maka mau tidak mau juga harus terlibat dalam maju mundurnya penguasaan Iptek, khususnya untuk kepentingan bangsa sendiri. Untuk mencapai maksud tersebut pemerintah menuangkannya dalam salah satu bentuk dari tujuan dan arah Pembangunan Nasional, yaitu Sektor/Bidang Iptek.
Arah dari penuangan sektor Iptek dalam Pembangunan Nasional adalah dimaksudkan untuk: (1) Menentukan keberhasilan membangun masyarakat maju dan mandiri, (2) Mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, dan (3) untuk mempercepat proses pembaharuan. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai dari upaya pengembangan teknologi informasi dan komunikasi itu di antaranya adalah untuk:
1. Meningkatkan kesejahteraan, kemajuan peradaban, ketangguhan, dan daya saing bangsa;
2. Memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; dan
3. Menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri, dan sejahtera (P3TIE-BPPT, 2001:69).
Selanjutnya sasaran tersebut di atas diupayakan dapat dicapai melalui beberapa program yaitu: (1) Peningkatan kemampuan pemanfaatan, pengembangan, dan keunggulan produksi, teknologi, ilmu pengetahuan terapan, dan ilmu pengetahuan dasar secara seimbang dan terpadu, (2) Pengembangan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dinamis, efektif, efisien, dan produktif, (3) Pembinaan sumber daya manusia, (4) Penumbuhan kreativitas dan inovasi, dan (5) Pengembangan sarana dan prasarana (P3TIE-BPPT, 2001:69).
Peradaban masa depan adalah masyarakat informasi ketika jasa informasi menjadi komoditas utama dan interaksi antar manusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology /ICT). KTT Masyarakat Informasi yang diselenggarakan pada bulan Desember 2003 telah mencanangkan rencana penggunaan ICT sampai 50 % untuk setiap negara pada tahun 2015 (Tempo Interaktif, 2004).
Dalam rangka mewujudkan pembinaan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan daya saing yang memadai sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, maka pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah diharapkan dapat dipergunakan semaksimal mungkin untuk memberdayakan seluruh potensi yang ada pada masyarakat, yakni melalui optimalisasi pemanfaatan layanan informasi kepada masyarakat luas.
Sebagaimana diketahui, saat ini mulai tahun 2007 pemerintah telah mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di bidang penaggulangan kemiskinan yang akan menjangkau 31,92 juta penduduk miskin di Indonesia atau sekitar 7,96 juta keluarga miskin. Program ini diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 ini (TKPKRI, 2007).
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat pada sektor penanggulangan kemiskinan di atas hanya sebagai contoh untuk dikemukakan bahwa program yang akan menelan biaya trilyunan tersebut tidak akan dapat terlaksana secara optimal jika tidak didukung oleh upaya pemanfaatan layanan informasi secara terarah dan terpadu, yakni dengan memanfaatkan semaksimal mungkin fasilitas teknologi informasi yang ada. Hal ini menjadi diskursus yang menarik karena realitas dalam kehidupan masyarakat kita saat ini masih menunjukkan adanya beberapa gejala yang kurang menguntungkan. Misalnya masih belum maksimalnya kesadaran informasi yang dimiliki masyarakat, sikap masyarakat terhadap teknologi yang kurang menunjang, belum meratanya dan belum meluasnya penggunaan teknologi informasi, dan penerapan budaya informasi yang belum didorong oleh pelembagaan atau kebijakan secara menyeluruh (Dahlan, 1993: 2-5).
Makalah ini mencoba untuk mengetengahkan tentang pentingnya teknologi informasi sebagai sarana layanan informasi kepada masyarakat dalam upaya mendorong tercapainya secara optimal program pemberdayaan masyarakat.

B. Fokus Masalah
Fokus masalah dalam makalah ini akan diarahkan kepada beberapa item penting yaitu:
1. Apakah informasi, teknologi informasi dan layanan informasi itu?
2. Apa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat?
3. Apa sajakah kendala yang dapat ditemui dalam penerapan layanan informasi untuk pemberdayaan masyarakat?
4. Bagaimana mengoptimalkan layanan informasi untuk mendorong tercapainya program pemberdayaan masyarakat?


BAB II
PEMBAHASAN

C. Pengertian informasi, Teknologi Informasi dan hubungannya dengan layanan informasi.
Informasi adalah benda abstrak yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan positif dan atau sebaliknya. Informasi dapat mempercepat atau memperlambat pengambilan keputusan. Dengan demikian informasi memiliki kekuatan, baik yang membangun maupun yang merusak.
Dalam prakteknya, informasi dapat disajikan dalam berbagai bentuk baik lisan (oral), tercetak (printed), audio, maupun audio-visual gerak yang masing-masing memiliki ciri khas, kelebihan dan kekurangan, sebagaimana tabel di bawah ini:

Sifat Informasi
Tercetak-Audio-AudioVisual

Tercetak Audio Audio-Visual
- dapat dibaca, dimana dan kapan saja
- dapat dibaca berulang-ulang
- daya rangsang rendah
- pengolahan bisa mekanis, bisa elektris
- biaya relatif rendah.
- Daya jangkau terbatas - Dapat didengar bila siaran
- Dapat didengar kembali bila diputar kembali.
- Daya rangsang rendah.
- Elektris.
- Relatif murah.
- Daya jangkau besar. - Dapat didengar dan dilihat bila siaran.
- Dapat didengar dan dilihat kembali bila diputar kembali.
- Daya rangsang sangat tinggi.
- Sangat mahal.
- Daya jangkau besar, kecuali bioskop.

Menurut Shannon dan Weaver, informasi sebagai objek materi ilmu komunikasi mempunyai makna: Patterned matter-energy that affects the probabilities of alternatives available to an individual making decision (hal atau energi yang terpolakan yang mempengaruhi dan memungkinkan seseorang membuat keputusan dari beberapa kemungkinan yang ada) (Shannon dan Weaver, 1949).
Informasi bermanfaat untuk mencapai tujuan ideal maupun material. Di akhir abad ke-20 informasi mampu menempatkan diri sebagai komoditas yang sangat potensial untuk mendatangkan materi. Informasi dapat dikembangbiakkan, diolah, dan diperdagangkan untuk tujuan material; atau disajikan untuk mempengaruhi sikap mental individu seperti iklan (material) dan publikasi/propaganda atau layanan sosial (ideal). Kenyataan ini sebagaimana disinggung oleh Tanudikusumah (1984) yang menyatakan: "Kelak manusia akan "berternak" informasi, dan dari "berternak" informasi ini manusia akan memperdagangkannya dan memperoleh keuntungan darinya (Tanudikusumah, 1984). Demikian hebatnya eksistensi informasi itu, hingga Napoleon Bonaparte (1769-1821) pernah menyatakan:
"Saya lebih takut terhadap ketajaman pena daripada harus menghadapi satu batalion tentara bersenjata lengkap; dan "Bila pers saya beri kebebasan, kekuasaan saya tidak akan lebih dari tiga bulan".
Dalam sejarahnya Napoleon merupakan contoh seseorang yang dapat mencapai kekuasaan berkat kepandaiannya memanfaatkan informasi. Ironisnya, ia jatuh akibat kesalahannya memanfaatkan informasi.
Dalam pengertian yang sederhana, teknologi informasi dapat diartikan sebagai: "Teknologi informatika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi, serta percepatan arus informasi ini tidak mungkin lagi dibatasi oleh ruang dan waktu" (J.B. Wahyudi, 1990). Dari pendapat ini terdapat item yang sangat mendasar yaitu: "percepatan dan peningkatan kualitas informasi yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu" kalimat kunci tersebut lebih mengarah kepada kedudukan teknologi informasi secara fungsional, yakni mempercepat akses informasi dan meningkatkan kualitas informasi.
Everett M. Rogers (1986) dalam Communication Technology menyatakan bahwa teknologi biasanya memiliki dua aspek, yaitu perangkat keras (objek materi dan sifatnya), dan aspek perangkat lunak (dasar informasi untuk menggerakkan perangkat keras itu). Sedangkan batasan mengenai teknologi informasi itu, Rogers menyatakan:
"Teknologi informasi adalah perangkat keras bersifat organisatoris, dan meneruskan nilai-nilai sosial dengan siapa individu atau khalayak mengumpulkan, memproses, dan saling mempertukarkan informasi dengan individu atau khalayak lain (Rogers, 1986).

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa teknologi informasi merupakan seperangkat fasilitas yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak yang dalam prakteknya diarahkan untuk mendukung dan meningkatkan kualitas informasi yang sangat dibutuhkan oleh setiap lapisan masyarakat secara cepat dan berkualitas. Berkat teknologi informasi inilah, informasi yang ada di setiap tempat pada detik yang sama dapat dipantau di tempat lain meskipun tempat itu berada di belahan bumi yang lain, atau bahkan di ruang angkasa sekalipun.
Dewasa ini semakin dirasakan pentingnya pemanfaatan teknologi informasi sebagai sarana untuk layanan informasi bagi masyarakat guna mendukung penyelenggaraan program-program pemerintah. Pemerintah bagaimanapun tidak dapat mengkesampingkan keberadaan teknologi informasi karena teknilogi informasi merupakan sarana yang paling efektif untuk menyampaikan atau mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang.
Teknologi informasi yang difungsikan untuk layanan informasi kepada masyarakat memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dalam waktu seketika tanpa dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini tentu akan sangat mendukung suatu disiplin ilmu atau suatu jenis pekerjaan yang memerlukan kecepatan akses informasi seperti jurnalistik atau ekonomi. Jurnalistik merupakan jenis kerja yang mengutamakan aktualitas/kecepatan; sedangkan pada bidang ekonomi/bisnis percepatan informasi akan membawa pengaruh terhadap perolehan profit atau sebaliknya.
Sudah terbukti secara nyata bahwa bidang pembangunan, perekonomian, bisnis, dan bidang lainnya tidak akan mengalami kemajuan tanpa diimbangi dengan pencapaian kemajuan di bidang teknologi informasi. John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1984) telah memprediksikan akan terbentuknya ekonomi global. Prediksi ini saat ini telah menjadi kenyataan, misalnya saja pada saat ini seseorang yang tengah berada di tengah hutan belantara di pedalaman Kalimantan dapat saja melakukan transaksi dengan rekan bisnisnya yang ada di New York melalui komunikasi dengan telepon satelitnya.
Oleh karena itu pemanfaatan teknologi informasi untuk layanan informasi kepada masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Sebab layanan informasi di masa sekarang ini tidak akan membuahkan hasil yang maksimal jika tidak didukung oleh teknologi informasi. Inilah kaitan erat antara teknologi informasi dengan layanan informasi bagi masyarakat.

D. Hakikat pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses mengajak masyarakat agar mengetahui potensi yang dimiliki untuk dikembangkan dan menemukenali permasalahan yang ada, agar bisa diatasi secara mandiri oleh masyarkat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat diupayakan melalui kapasitas sumberdaya manusia agar dapat bersaing dan mempunyai kesempatan berusaha untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga sehingga akan tercapai ketahanan pangan masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat adalah melalui layanan informasi dengen memanfaatkan teknologi informasi yang ada.
Upaya pemberdayaan masyarakat telah mendapat perhatian besar dari berbagai pihak yang tidak terbatas pada aspek pemberdayaan ekonomi sosial, tetapi juga menyangkut aspek pemberdayaan di segala bidang. Pemberdayaan masyarakat terkait dengan pemberian akses bagi masyarakat, lembaga, dan organisasi masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan hak masyarakat bagi peningkatan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat amat penting untuk mengatasi ketidakmampuan masyarakat yang disebabkan oleh keterbatasan akses, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, adanya kondisi kemiskinan yang dialami sebagaian masyarakat, dan adanya keengganan untuk membagi wewenang dan sumber daya yang berada pada pemerintah kepada masyarakat.
Potensi masyarakat untuk mengembangkan kelembagaan keswadayaan ternyata telah meningkat akibat kemajuan sosial ekonomi masyarakat. Pada masa depan perlu dikembangkan lebih lanjut potensi keswadayaan masyarakat, terutama keterlibatan masyarakat pada berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan ketahanan sosial, dan kepedulian mayarakat luas dalam memcahkan masalah kemasyarakatan.
Potensi masyarakat tersebut di atas, dalam hal ini diartikan sebagai “Masyarakat Berdaya” yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Keberdayaan "Masyarakat Berdaya" dicirikan dengan timbulnya (1) kesadaran bahwa, mereka paham akan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta sanggup menjalankan kewajiban dan tanggung jawab untuk tercapainya kualitas lingkungan hidup yang dituntutnya. Kemudian, (2) berdaya yaitu mampu melakukan tuntutan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Selanjutnya, (3) mandiri dalam kemampuan berkehendak menjalankan inisiatif lokal untuk menghadapi masalah lingkungan di sekitarnya. Dan, secara aktif tidak saja (4) memperjuangkan aspirasi dan tuntutan kebutuhan lingkungan yang baik dan sehat secara terus menerus, tetapi juga (5) melakukan inisiatif lokal.
Pemberdayaan adalah suatu proses yang berjalan terus menerus untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses tersebut masyarakat bersama-sama:
1. Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan dan potensinya.
2. Mengembangkan rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian
3. Menerapkan rencana tersebut
4. Secara terus-menerus memantau dan mengkaji proses dan hasil kegiatannya (Monitoring dan Evaluasi / M&E)

E. Beberapa kendala penerapan layanan informasi untuk pemberdayaan masyarakat
Layanan informasi bagi masyarakat yang diwujudkan dengan memfungsikan secara optimal teknologi informasi yang ada menurut M. Alwi Dahlan (1993) masih terkendala oleh beberapa hal, di antaranya adalah:

1. Kesadaran informasi masyarakat yang masih belum maksimal.
Kurangnya kesadaran informasi terlihat dari peranan informasi dalam proses melakukan pekerjaan atau kegiatan. Informasi masih belum merupakan sesuatu yang dengan sendirinya melekat pada setiap langkah. Dalam masyarakat kita sering terjadi bahwa yang harus punya informasi belum tentu memilikinya, dan kalau memiliki belum tentu dapat mencarinya (misalnya karena arsip tidak terpelihara).

2. Sikap terhadap teknologi belum menunjang.
Masyarakat mungkin telah membicarakan teknologi, tetapi pada umumnya belum diikuti penerimaan sepenuh hati. Teknologi yang dikaitkan masyarakat dengan masyarakat informasi pada umumnya adalah produk teknologi konsumen, itupun pada umumnya menyangkut teknologi komunikasinsebagai penerima informasi, bukan sebagai pengolahnya.
Teknologi informasi belum dapat dikatakan memasyarakat, bagaimanapun meluapnya perhatian terhadap pameran komputer, tetapi orang banyak datang hanya untuk mengagumi berbagai kecanggihan komputer itu. Meskipin jumlah pembeli komputer sudah meningkat, tetapi fungsinya belum dapat dipahami dengan baik. Semua ini menunjukkan bahwa sikap terhadap teknologi informasi belum positif.

3. Penggunaan teknologi informasi belum merata, apalagi mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Banyak orang yang sudah mulai menggunakan komputer tetapi sebagian besar terlihat belum memanfaatkannya secara efisien, jauh di bawah kemampuan dan fungsinya. Penggunaan yang kurang efisien ini bukan hanya terjadi pada masyarakat biasa, bahkan beberapa organisasi/institusi yang seharusnya merupakan perintis masyarakat informasi terlihat masih berada pada tahap awal dalam melembagakan pemanfaatan teknologi informasi.

4. Penerapan budaya informasi belum didorong oleh pelembagaan atau kebijakan nasional.
Pada negara berkembang yang tak akan pernah kecukupan anggaran, pembudayaan suatu teknologi sangat bergantung pada kebijakan dan prioritas pemerintah. Dalam hal ini sebagai contoh, terlihat betapa cepatnya teknologi televisi membudaya, sejak pemerintah memutuskan untuk mempergunakan Satelit Palapa.

Keempat item mengenai pemanfaatan teknologi informasi tersebut di atas dapat menjadi kendala untuk mewujudkan layanan informasi bagi masyarakat. Bagaimanapun layanan informasi gencar dilakukan oleh pemerintah, tetapi jika di tengah-tengah masyarakat sendiri belum tercipta suatu kondisi "kesadaran informasi" yang menyeluruh tentu layanan informasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah tidak akan membuahkan hasil secara optimal.
Untuk mengatasi beberapa kendala di atas, agar layanan informasi yang dilakukan oleh pemerintah dapat lebih berguna bagi upaya untuk memberdayakan masyarakat, maka sebagai alternatif dapat dilakukan beberapa langkah yaitu:
1. Menentukan konsep nasional mengenai masyarakat informasi Indonesia yang diinginkan, dengen mempertimbangkan perkembangan masyarakat dan budaya sendiri ke masa depan tanpa melepaskan diri dari negara maju. Konsep ini perlu dijabarkan dalam kebijakan yang menjadi pegangan dalam pemilihan, penerapan, dan pembudayaan teknologi secara luas, termasuk pendidikan dan sebagainya.
2. Meningkatkan kesadaran berinformasi dan sikap yang positif terhadap informasi dalam segala bidang, yang menjadi dasar bagi pembudayaan teknologi informasi. Upaya ini perlu dipadukan kedalam segala sektor dan program secara luas, sehingga "bendera informasi dapat berkibar di semua tiang, tidak terbatas pada tiang informatika". Memberi prioritas kepada institusi/pranata yang strategis untuk menunjang pembentukan masyarakat informasi.
3. Merubah citra teknologi dan teknologi informasi, sehingga dapat diterima dengan wajar dan akrab oleh pemakai yang lebih luas dan masyarakat umum Indonesia. Citra/persepsi baru tersebut dikembangkan sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan yang mendorong adopsi inovasi, yaitu:
- Manfaat komparatif dengan praktek/kebiasaan yang ada
- Keserasian dan keselarasan (compatibility) dengan nilai-nilai, pengalaman, dan kebutuhan masyarakat
- Kesederhanaan, keakraban, dan kemudahan pemakaian
- Ketersediaan; kemungkinan bagi orang banyak untuk mencoba dalam situasi yang dikehendakinya
- Pembuktian; masyarakat dapat mengamati keberhasilan danmanfaat penerapan tersebut dalam lingkungannya (Dahlan, 1993: 6).

F. Optimalisasi layanan informasi untuk pemberdayaan masyarakat
Menurut Wikipedia Indonesia, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta.
2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi :
a. Yang bersifat primer dan,adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan.
b. Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
Salah satu bentuk pelayanan publik yang tidak kalah pentingnya di antara jenis-jenis pelayanan publik lainnya adalah layanan informasi kepada publik. Sebagaimana diuraikan di muka, pelayanan publik dalam bentuk layanan informasi dapat berupa layanan informasi yang menggunakan berbagai macam produk teknologi informasi, baik media tercetak, audio, audio visual, internet dan sebagainya
Berkaitan dengan pemanfaatan internet sebagai media layanan informasi ini, pemerintahan di seluruh dunia pada saat ini menghadapi "tekanan" dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan partisipasi aktif dalam pemberian informasi bagi masyarakat serta dituntut untuk lebih efektif. Hal ini menyebabkan eGovernment atau pemerintahan berbasis elektronik semakin berperan penting bagi semua pengambil keputusan. Pemerintah Tradisional (traditional government) yang identik dengan paper-based administration mulai ditinggalkan. Transformasi traditional government menjadi electronic government (eGovernment) menjadi salah satu isu kebijakan publik yang hangat dibicarakan saat ini. Di Indonesia eGovernment baru dimulai dengan inisiatif yang dicanangkan beberapa tahun lalu.
Berdasarkan definisi dari World Bank, eGovernment adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah (seperti: Wide Area Network, Internet dan mobile computing) yang memungkinkan pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan. (www.worldbank.org). Dalam prakteknya, eGovernment adalah penggunaan Internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Internet merupakan salah satu dari sarana layanan informasi yang dapat dimanfaatkan untk memberdayakan masyarakat, di samping internet masih banyak lagi produk teknologi informasi yang dapat diarahkan kegunaannya untuk melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat.
Pemanfaatan teknologi informasi untuk pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Roger Harris dalam bukunya yang berjudul Information and Communication Technologies for Poverty Alleviation (2004), mencatat sekurangnya 12 strategi pemanfaatan teknologi informasi yang dapat dimaksimalkan dampaknya untuk memberdayakan masyarakat, yaitu:
1. Mendistribusikan informasi yang relevan untuk pembangunan;
2. Memberdayakan masyarakat yang kurang beruntung (disadvantaged) dan terpinggirkan (marginalized);
3. Mendorong usaha mikro(fostering microentrepreneurship);
4. Meningkatkan layanan informasi kesehatan jarak jauh (telemedicine);
5. Memperbaiki pendidikan melalui e-learning dan pembelajaran-seumur-hidup (life-long learning);
6. Mengembangkan perdagangan melalui ecommerce;
7. Menciptakan ketataprajaan (governance) yang lebih efisien dan transparan melalui egovernance;
8. Mengembangkan kemampuan;
9. Memperkaya kebudayaan;
10. Menunjang pertanian;
11. Menciptakan lapangan kerja (creating employment); dan
12. Mendorong mobilisasi sosial.
Menurut hemat penulis untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi sebagai sarana layanan informasi untuk memberdayakan masyarakat, maka perlu dilakukan beberapa langkah strategis di antaranya adalah:

1. Meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat akan manfaat teknologi informasi. Dengan menyadari akan manfaat teknologi informasi, maka diharapkan masyarakat akan mampu menyerap berbagai informasi penting sehingga mendorong masyarakat untuk secara sadar melakukan kegiatan-kegiatan partisipatif yang mengarah kepada terbentuknya "masyarakat berdaya" di segala bidang. Peningkatan kesadaran ini dilakukan melalui penyelenggaraan aktivitas seperti seminar, kampanye melalui media massa, focus group discussion, konsultasi partisipatif, dan lain-lain.

2. Menyediakan akses informasi. Penyediaan informasi ini haruslah informatif dan layanan yang relevan untuk masyarakat. Agar dapat berjalan berkesinambungan, masyarakat haruslah dapat merasakan manfaat yang dapat diambil dari akses informasi yang diberikan. Manfaat ini secara ekonomis dapat dirasakan melalui peningkatan penghasilan atau mengurangi pengeluaran. Oleh karena itu, informasi atau layanan yang diberikan haruslah tepat sasaran dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven), diolah dalam format yang sederhana, bahasa yang dimengerti, serta disebarkan dengan media komunikasi yang biasa digunakan, seperti papan pengumuman desa, pengeras suara, penyuluhan desa, radio komunitas, atau medium lain yang sesuai dengan konteks lokal.

3. Membangun kemitraan antara masyarakat dan penyedia layanan informasi. Penggalangan kemitraan adalah bagian penting dari program layanan informasi dan dimaksudkan terutama untuk mendukung pengembangan kemampuan masyarakat. Kemitraan ini dilakukan dengan semua pihak dari berbagai sektor, misalnya dengan departemen dan institusi kesehatan, pendidikan, industri, dan pertanian untuk mempromosikan pengembangan materi (content development) dan layanan informasi untuk orang miskin. Sebaliknya, pihak departemen dan instansi juga dapat dimudahkan tugasnya dengan pengadaan sarana layanan umum/publik melalui layanan informasi untuk disampaikan secara elektronik (online atau e-services).

Dari beberapa gagasan di atas diharapkan penyelenggaraan layanan informasi kepada masyarakat dapat mencapai sasaran secara tepat guna. Dengan melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan layanan informasi, penyediaan layanan informasi secara menyeluruh, dan membangun hubungan kemitraan antara penyedia layanan informasi dengan masyarakat diharapkan akan memberikan nilai positif dan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat di segala bidang, dan pada akhirnya terciptalah suatu kondisi di mana masyarakt terbentuk menjadi "masyarakat berdaya" yang di antaranya memiliki sikap-sikap keberdayaan seperti: (1) memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat, memiliki sikap kemandirian dalam kemampuan berkehendak menjalankan inisiatif lokal untuk menghadapi masalah lingkungan di sekitarnya, (3) mampu memperjuangkan aspirasi dan tuntutan kebutuhan lingkungan yang baik dan sehat secara terus menerus, serta (4) mampu melakukan inisiatif lokal yang menunjukkan diri sebagai warga masyarakat yang memiliki ciri keberdayaan di segala bidang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya.


BAB III
PENUTUP

G. Kesimpulan
Dari uraian tentang layanan informasi sebagai wahana untuk pemberdayaan masyarakat di atas dapat penulis simpulkan beberapa hal, di antaranya:
1. Informasi adalah benda abstrak yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan positif dan atau sebaliknya. Informasi dapat mempercepat atau memperlambat pengambilan keputusan.
2. Informasi dapat disajikan dalam berbagai bentuk baik lisan (oral), tercetak (printed), audio, maupun audio-visual gerak yang masing-masing memiliki ciri khas, kelebihan dan kekurangan.
3. Teknologi informasi merupakan seperangkat fasilitas yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak yang dalam prakteknya diarahkan untuk mendukung dan meningkatkan kualitas informasi yang sangat dibutuhkan oleh setiap lapisan masyarakat secara cepat dan berkualitas.
4. Pemanfaatan teknologi informasi untuk layanan informasi kepada masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Layanan informasi di masa sekarang tidak akan membuahkan hasil yang maksimal jika tidak didukung oleh teknologi informasi.
5. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses mengajak masyarakat agar mengetahui potensi yang dimiliki untuk dikembangkan dan menemukenali permasalahan yang ada, agar bisa diatasi secara mandiri oleh masyarkat itu sendiri.
6. Beberapa kendala layanan informasi kepada masyarakat di antaranya:
a. Kesadaran informasi masyarakat yang masih belum maksimal
b. Sikap terhadap teknologi belum menunjang
c. Penggunaan teknologi informasi belum merata, apalagi mengakar dalam kehidupan masyarakat
d. Penerapan budaya informasi belum didorong oleh pelembagaan atau kebijakan nasional.
7. Optimalisasi layanan informasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:
a. Meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat akan manfaat teknologi informasi.
b. Menyediakan akses informasi yang informatif dan layanan yang relevan untuk masyarakat;
c. Membangun kemitraan antara masyarakat dan penyedia layanan informasi.



DAFTAR RUJUKAN

Dahlan, M. Alwi, dkk., Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia vol. 5 dan 6, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Hardjono, Ir. Agung, Strategi mengurangi kemiskinan dengan memanfaatkan Teknologi informasi dan komunikasi, Bappenas-UNDP, tth
Harris, Rogers W., Information and Communication Technologies for Poverty Alleviation, Asia-Pacific Development Information Programme, 2004
Indikator Teknologi Informasi dan Komunikasi Tahun 2001, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ( P3TIE – BPPT ), 2001.
Mulyadi, Dr. Deddy, M.Si, Mengharapkan Pelayanan Publik yang Optimal, Pikiran Rakyat, Sabtu, 07 Agustus 2004
Pelayanan Publik, Ensiklopedi Wikipedia Indonesia, 2007
Rogers, M. Everett, Communication Technology- The New Media in Society, The Free Press, A. Dursion of Macmillan, Inc., New York, 1986.
Shannon, C., dan W. Weaver, The Matematical Theory of Communication, Urbana, Univ. of Illinois, 1949.
Siallagan, Windraty, eGovernment : Menuju Pelayanan Publik Yang Lebih Baik, Badan Akuntansi Negara, tth
Tanudikusumah, Prof. Dr. R. Djajusman, Citra Komunikasi, Jakarta, 1984.
Teknologi Informasi dan Komunikasi Perlu Landasan Hukum, Tempo Interaktif, Sabtu, 04 Desember 2004
Wahyudi, J.B. Teknologi Informasi dan Produksi Citra Bergerak, Jakarta, 1992.
Zorkoczy, Peter, Information Technology, England, Pitman Publishing Limited, diterjemahkan oleh Alex Tri Kantjono W dalam Teknologi Informasi, Jakarta, 1988.

Tuesday, April 24, 2007

MELACAK PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM

MELACAK PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
(Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan)
M. Khoirul Anam

Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai 'pemelihara' (khalifah) pada semesta-(Tafsir, 1994). Karenanya, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan). Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan.
Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa kejayaan sepanjang abad pertengahan, di mana peradaban dan kebudayaan Islam berhasil menguasai jazirah Arab, Asia Barat dan Eropa Timur, tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa tersebut.
Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan umat Islam ini tidak muncul secara spontan dan mendadak, namun kesadaran ini merupakan efek dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa ke-Rasul-an Muhammad). Pada masa itu Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat dan pengikutnya (baca; umat Islam) akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat untuk senantiasa mencari ilmu. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya banyak hadis yang menjelaskan tentang urgensi dan keutamaan (hikmah) ilmu dan orang yang memiliki pengetahuan. Bahkan dalam sebuah riwayat yang sangat termashur disebutkan bahwa Muhammad menyatakan menuntut ilmu merupakan sesuatu yang diwajibkan bagi umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah ke-wafat-an Muhammad, para sahabat dan umat Islam secara umum tetap melanjutkan misi ini dengan menanamkan kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan kepada generasi-generasi sesudahnya, sehingga kesadaran ini menjadi sesuatu yang mendarah daging di kalangan umat Islam dan mencapai puncaknya pada abad XI sampai awal abad XIII M.
Namun demikian, seiring dengan kemunduran Islam-terutama setelah kejatuhan Bagdad tahun 1258 M--, pendidikan dalam dunia Islam pun ikut mengalami kemunduran dan ke-jumud-an. Sehingga, pendidikan tidak lagi mampu menjadi sebuah 'sarana pendewasaan' umat. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan Fazlur Rahman, pendidikan menjadi tidak lebih dari sekedar sarana untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai 'lama' (tradisional) dari ancaman 'serangan' gagasan Barat yang dicurigai akan meruntuhkan tradisi Islam, terutama 'standar' moralitas Islam (Rahman, 1985). Pendidikan tidak lagi mampu menjadi sebuah proses intelektualisasi yang merekonstruksi paradigma (pola pikir) peserta didik melalui interpretasi secara continue dengan berbagai disiplin ilmu sesuai perkembangan jaman (Rahman, 1994).
Akibatnya, pendidikan Islam melakukan proses 'isolasi' diri sehingga pendidikan Islam akhirnya termarginalisasi dan 'gagap' terhadap perkembangan pengetahuan maupun tehnologi. Melihat fenomena di atas, adanya upaya untuk menemukan kembali semangat (girah) pendidikan Islam tampaknya diperlukan, Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengangkat kembali dunia ke-pendidikan Islam sehingga kembali mampu survive di tengah masyarakat. Dan sebagai langkah awal untuk menemukan kembali semangat ini, tampaknya dapat dilakukan dengan mencoba melihat 'kilasan' perjalanan pendidikan Islam dari masa awal hingga sekarang.
Sekilas Perjalanan (Sejarah) Pendidikan Islam
Meskipun penanaman kesadaran akan urgensi ilmu sudah dimulai pada masa Muhammad, bahkan pada masa-masa akhir sebelum Muhammad wafat kesadaran akan pentingnya ilmu bagi kehidupan-dapat dikatakan-sudah mendarah daging di kalangan umat Islam (Bilgrami, 1989), namun cikal bakal pendidikan Islam (dalam sebuah institusi) baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (Nasr,1994).
Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar, secara khusus, mengirimkan 'petugas khusus' ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber (baca; guru) bagi masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut. Para 'petugas khusus' ini biasanya bermukim di masjid (mungkin semacam ta'mir pada masa sekarang) dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat melalui halaqah-halaqah-majlis khusus untuk menpelajari agama dan terbuka untuk umum (Nasr, 1994).
Pada perkembangan selanjutnya, materi yang diperbincangkan pada halaqah-halaqah ini tidak hanya terbatas pada pengkajian agama (baca; Islam), namun juga mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat. Selain itu, diajarkan pula disiplin-disiplin yang menjadi pendukung kajian agama Islam. Dalam hal ini antara lain kajian tentang bahasa dan sastra Arab, baik nahwu, sorof maupun balagah. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana 'pendidikan', yakni adanya upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai Maktab. Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi pendidikan Islam (Nasr, 1994).
A-Ma'mun, salah satu khalifah Daulat Bani Abbasiyah, mendirikan Bait al-Hikmah di Bagdad pada tahun 815 M--- sebuah institusi yang cukup layak disebut sebagai institusi pendidikan --(Ibrahim Hassan, 1989). Pada Bait al-Hikmah ini terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan dan observatorium (laboratorium). Meskipun demikian, Bait al-Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang 'cukup sempurna', karena sistem pendidikan masih sekedarnya dalam majlis-majlis kajian dan belum terdapat 'kurikulum pendidikan' yang diberlakukan di dalamnya.
Institusi pendidikan Islam yang mulai menggunakan sistem pendidikan 'modern' baru muncul pada akhir abad X M dengan didirikannya Perguruan (Universitas) al-Azhar di Kairo oleh Jendral Jauhar as-Sigli-seorang panglima perang dari Daulat Bani Fatimiyyah-pada tahun 972 M (Mahmud Yunus, 1990). Pada al-Azhar, selain dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium, mulai diberlakukan sebuah 'kurikulum pengajaran'. Pada kurikulum ini diatur urutan materi beserta disiplin-disiplin yang harus diajarkan kepada peserta didik. Meski pendirian al-Azhar bertujuan sebagai wadah 'kaderisasi' bagi kader-kader Syi'ah, namun kurikulum yang berlaku dapat dianggap sebagai sebuah kurikulum yang berimbang. Pada kurikulum al-Azhar diajarkan disiplin-disiplin ilmu agama dan juga disiplin-disiplin ilmu 'umum' (aqliyyah). Ilmu agama yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain tafsir, hadis, fiqh, qira'ah, teologi (kalam), sedang ilmu akal yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain filsafat, logika, kedokteran, matematika, sejarah dan geografi (Mahmud Yunus, 1990) Ketika Salahuddin al-Ayyubi (seorang sunni) pada abad XI M berhasil menguasai Kairo, sebagai pusat Bani Fatimiyyah, ia memandang adanya al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting, sehingga keberadaan al-Azhar tidak diusik sama sekali, selain peniadaan materi-materi yang berbau syi'ah. Bahkan pada masa Salahuddin inilah al-Azhar berada dalam puncak kejayaan, di mana al-Azhar, menurut beberapa kalangan, dianggap mampu melaksanakan kurikulum yang berimbang antara materi agama dan pengembangan intelektual (Bilgrami, 1989).
Institusi pendidikan Islam ideal dari masa kejayaan Islam lainnya adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini diprakarsai dan didirikan oleh Nizam al-Mulk-perdana menteri pada kesultanan Seljuk pada masa Malik Syah-pada tahun 1066/1067 M di Bagdad dan beberapa kota lain di wilayah kesultanan Seljuk. Madrasah Nizamiyah sebenarnya didirikan sebagai upaya membendung arus propaganda syi'ah yang berpusat di Kairo dengan al-Azharnya. Madrasah Nizamiyah pun telah memiliki spesifikasi khusus sebagai sebuah institusi pendidikan dengan spesifikasi pada teologi dan hukum Islam. Dan karena spesifikasi ini pulalah Madrasah Nizamiyah sering disebut sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam (Nakosteen, 1996).
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium--, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama (Charles M. Stanton, 1992 ).
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya (Bilgrami, 1989).
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian 'serius' dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum. (Ahmad Warid Khan, Okt 1998). Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
Rekonstruksi Paradigma Pendidikan Islam
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya (al-Attas, 1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik-- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasid-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses 'isolasi diri' dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama (baca; Islam), di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah.
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan ,minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang, tentunya, akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan jaman dan peka terhadap lingkungan.
Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.

PENDIDIKAN PEMBEBASAN

PENDIDIKAN PEMBEBASAN
DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Ruchman Basori
(Staf Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim.
Menyelesaikan S-1 jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo Semarang,
saat ini sedang menempuh studi pada Program Pascasarjana (S-2)
Pemikiran Pendidikan Islam pada almamater yang sama)


Pendahuluan
Islam adalah agama universal, menjadi pegangan hidup manusia. Di dalamnya mengandung pranata sosial, politik, ekonomi, budaya maupun pendidikan. Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam bagi struktur yang menindas. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice).
Islam melalui al-Quran dan Hadits melarang praktek-praktek penindasan dan ketidakadilan. Sebaliknya memberi ruang bagi terciptanya kebebasan kepada manusia, sehingga Islam disebut sebagaiu agama pembebas kaum mustadhafin. Baik lemah secara material, pemikiran maupun mentalitas serta kreatifitas. Oleh banyak penulis sejarah, kata Jalaludin Rahmat, Islam bukan saja dianggap sebagai agama baru, melainkan juga liberating force--sesutau kekutan pembebas umat manusia. Hal inilah yang menyebabkan agama Islam cepat menyebar di jazirah Arab dan juga Indonesia.
Di sisi lain, secara faktual umat Islam masih tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain, khususnya dalam pengembangan sumber daya manusia, teknologi, dan kebudayaan. Hal ini dikarenakan pendidikan Islam belum berdaya secara optimal. Pendidikan Islam hanya mencetak muqallid-miqallid baru, kurang kritis, gagap menghadapi perubahan sarta kurang peka terhadap relitas sosialnya. Terjadi kesenjangan antara teks ajaran dengan konteks sosial masyarakat.
Praktek-praktek pendidikan yang kurang membebaskan menjadi pemandangan seharai-hari di negara muslim, seperti para guru cenderung otoriter dan doktriner, siswa hanya dianggap obyek pendidikan, struktur politik negara yang hegemonik, dan kurikulum yang kurang memberi ruang kekrtitisan, dialog, debat dan bentuk-bentuk kecerdasan lainnya. Murid menjadi konsumeristik terhadap hal-hal baru tanpa disertai dialog-partisipatoris dengan lingkungan soaio-education secara wajar. Yang ada hanya pemaksaan kehendak, pemasungan kreatifitas yang telah terstruktur sekian lama.
Orintasi pendidikan mestinya tidak sekedar untuk memenuhi pangsa pasar tenaga kerja, tetapi lebih dari itu sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, penanaman niali-nilai dan pengalaman, pengembangan ketrampilan, kebudayaan peserta didik.
Kemampun kita mengartikulasikan pendidikan Islam yang membebaskan dalam konsep yang jelas menjadi keharusan, mengingat Islam bukan agama yang statis melainkan sistem nilai yang dinamis, humanis dan transformatif. Kehadiran konsep pendidikan pemebebasan sangat diharapkan bagi khasanah pendidikan Islam, mengingat : Pertama, Islam mempunyai potensi sebagai agama pembebas, hal ini dapat dilihat pada ajaran-ajaran Islam yang revolusioner, seperti ajaran tentang keadilan, anti diskriminasi, pluralisme, perlindungan terhadap yang lemah dan nir kekerasan; Kedua, Islam sebagai agama besar mempunyai pemgikut yang harus diselamatkan dari kehancuran, karena kaum penindas kian hari semakin bertambah; Ketiga, Menggali dan mengembangkan paradigma pendidikan Islam yang membebaskan dalam menyiapkan generasi Islam di masa depan, disaat wajah pendidikan kita sangat membelenggu.
Dalam tulisan ini akan di bicarakan kaitan Islam dengan pendidikan pembebasan. Bagaimana konsep Islam dalam menjawab pendidikan yang membelenggu kratifitas, dan ketrampilan anak didik. Untuk itu term-term kecil yang akan di bahas adalah : Islam dan pembebasan, kebebasam manusia dan konsep pendidikan Islam yang membebaskan.

Islam dan Pembebasan
Untuk membahas tema diatas, terlebih dahulu akan dibahas tentang konsep Islam dan pembebasan. Hal ini untuk memberi landasan paradigmatik serta teologis bagi pengembangan pendidikan Islam. Term-term utama dalam kaitannya dengan Islam dan pembebasan adalah konsep tentang kebebasan, tauhid, iman dan jihad yang selanjutnya akan terformulasikan menjadi teologi pembebasan dalam Islam.
Teologi pembebasan adalah suatu teologi yang menekankan pada arti kebebasan, persamaan, dan keadilan distribusi dan menolak penindasan, penganiayaan dan eksploitasi manusia. Teologi pembebasan menolak adanya pemaksaan kehendak individu maupun kelompok yang akan melahirkan penindasan pada kelompok lain Disini ditekankan adanya humanisme dalam tata pembangunan sosial yang beradab.
Teologi pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang sudah baku, dan harus terus menerus secara konstan untuk menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru. Oleh karena itulah konsep kebebasan (liberty) menjadi komponen utama dari teologi pembebasan. Kebebasan memilih dan kebebasan untuk keluar (transendensi diri) menuju kehidupan yang lebih baik dan juga untuk menghubungkan dirinya pada kondisi yang berubah-ubah secara berarti.
Menurut Asghar Ali Enginer, ada empat ciri-ciri dari teologi pembebasan yaitu : (1). Dimulai dengan melihat kehidupan manusia didunia dan diakhirat; (2). Teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya berhadapan dengan golongan miskin, dengan kata lain anti kemapanan baik religius maupun politik; (3). Membela kelompok tertindas serta memperjuangkan untuk merlakukan perlawanan; (4). Tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang taqdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga mengakui bahwa manusia bebas menentukan nasibnya sendiri.
Muhammad SAW telah mewujudkan agama Islam menjadi kekuatan revolusioner yang membahayakan kaum kaya, bangsawan waktu itu, melarang riba, menimbun harta, menghapus perbudakan, mengangkat derajat kaum wanita, menganggap sama antara suku ras dan golongan dan hanya diukur dari kadar ketaqwaannya.
Muhammad lahir diatas masyarakat yang tegak atas penindasan. Sekelompok masyarakat, hidup diatas penderitaan sejumlah besar masyarakat. Maysrakat waktu itu terbagi kedalam dua bagian besar : golongan merdeka dan golongan budak belian; Dalam hal kekayaan mereka terbagi atas kaya dan miskin. Dalam kekuatan politik mereka hanya mengenal yang kuat dan yang lemah (al mala’ wa al-du’afa). Masyarakat waktu itu terseting sedemikian rupa menjadi kelas soaial yang begitu tajam. Rasul mengajarkan risalahnya, bahwa yang agung hanya Alah, semua manusia sama disisinya. Yang paling mulia hanyalah diukur dari ketaqwaannya, bukan pangkat, derajat, kekayaan, nasab dan lain-lain. Dalam wacana teologi pembebasan manusia hanya tunduk dan pasrah kepada Tuhan, bukan pada manusia, ilmu pengetahuan atau kekuasaan.
Untuk mewujudkan teologi pembebasan ada beberapa aspek mendasar yang perlu diperhatikan, yaitu : Pertama, Liberatif yang praktis-dialektis yaitu apa yang ada dan apa yang seharusnya; Kedua, Jihad dalam Islam adalah untuk menolong yang tertindas, bukan untuk meraih kekuasaan. Bukan jihad yang dipolitisir untuk kepentingan kelompok tertentu, tapi benar-benar karena Allâh yang kemudian termanifestasikan dalam upaya membebaskan manusia dari belenggu; Ketiga, Tauhid, dalam rangka mengembangkan struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala macam perubudakan. Tauhid tidak sekedar di artikan ke-Esaan Tuhan tapi juga dengan keasatuan manusia yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa penciptaan masyarakat yang tanpa kelas. Tauhid inilah yang akan menjadi ruh gerakan perjuangan melawan kedzaliman (kelompok penindas); Keempat, Konsep iman. Iman kepada Allâh akan mengantar manusia kepada perjuangan menciptakan masyarakat berkeadilan. Tanpa iman manusia akan kosong dan tidak berakar pada kedalaman pribadinya.
Aspek pertama dan kedua merupakan implementasi praktis dari aspek ketiga dan keempat yang merupakan landasan paradigmatik yang mendasar bagi teologi pembebasan, yang itu semua sebagai wujud dari dialektika antara relasi manusia dengan Tuhan dan relasi manusia dengan mansia.
Dalam konteks inilah maka Nabi Muhammad SAW berusaha membebaskan kaum mustadhafin dengan cara : Pertama, membangkitkan harga diri rakyat kecil dan dhu`afa, membangkitkan harga diri fuqara dan masakin, karena mereka itulah yang selama ini direndahkan dan di caci maki; Untuk tujuan itu Rasul menempuhnya dengan cara hidup bersama ditengah-tengah mereka; Kedua, Sebagai pemimpin orang kecil pembebas kaum mustadhafin, beliau memilih pola hidup seperti mereka yaitu dengan hidup sederhana.
Itulah beberapa hal yang dapat kita lihat dari doktrin teologis, teologi pembebasan Islam, sebagai landasan utama perjuangan misi ilahiyah dan profetis yang harus kita teladani yang berpijak pada ajaran dasar Islam melalui sumber teks dan perjalanan sejarah Islam yang obyektif. Kita akan berusaha menggali konsep ajaran Islam tentang pembebasan bukan sekedar adopsi dari sana-sini.

Kebebasan Manusia dan Transformasi Sosial
Tujuan diciptakan manusia adalah sebagai hamba (`abdun) dan pemimpin dimuka bumi (khalifah fiI al-Ardh). Menyembah dalam pengertian yang luas tidak sekedar menjalankan rukun Islam yang lima, akan tetapi tunduk dan patuh secara proporsional dan kreatif pada ibadah-ibadan sosial. Sebagai khalifah akan senantiasa melakukan hubungan horisontal-kreatif dengan sesama manusia berupa sifat perjuangan menentang ketidakadilan dan berjuang melawan kemandegan berfikir (statis). Wujud dari hal itu manusia mampu membebaskan dirinya dari kekangan nafsu yang mendorong melakukan kejahatan.
Allâh SWT telah memberikan sebagian otoritasnya kepada manusia sebagai khalifah-Nya dibumi yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, dan porsi kekuasaan terbesar lainnya tetap ditangan-Nya. Sehingga manusia berada di diantara dua kutub : qudrah Alah dan kemauan bebasnya.
Dari berbagai tujuan, baik common sense, psikologis maupun etika, manusia mempunyai kebebasan. Dia tidak hanya memiliki kemauan tetapi juga kebebasan untuk memilih tindakannya. Kecenderungan kemauan manusia pada hakikatnya adalah kebaikan, karena manusia mempunyai potensi kebaikan yang dinamakan hati nurani. Manusia memiliki kognitif (daya cipta, rasional) yang bersifat kreatif dan selektif.
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Potensi kebebasan tersebut harus dapat didayagunakan untuk menginternalisasikan sekaligus mensosialisasikan teologi pembebasan dalam Islam tersebut, sebagai spirit bagi produktivitas manusia dalam pembangunan dan melakukan reformasi atau revolusi. Teologi pembebasan harus dapat menjadi ruh gerakan bagi progresivitas manusia yang tercerahkan.
Pada hakikatnya manusia ditempatkan dan berkaitan dengan potensi-potensi baik positif maupun negatif, yaitu : (a). Manusia itu cenderung beragama; (b). Manusia itu memiliki hawa nafsu;.(c). Manusia adalah makhluk yang mempunyai hati nurani; (d). Sebagai makhluk yang dapat mengenal diri sendiri dan mengadakan introspeksi (e). Manusia memiliki kebebasan kehendak;
Disamping itu juga ada potensi manusia yang destruktif atau bersifat merusak seperti : (a). Cenderung melakukan kerusakan dan saling bermusuhan; (b). Sangat mencintai kehidupan, harta dan kenikmatan; (c). Mendewa-dewakan hawa nafsu; (d). Selalu digoda iblis dan setan yang mengajarkan berbuat sesuatu yang hina (e). Memiliki sifat halu’a; (f). Makhluk yang lemah; (g). Makhluk pelupa.
Kedua potensi di atas antara yang baik dan buruk, akan sangat ditentukan oleh manusia dalam mengelola dan memanfaatkan peluang kebebasan yang diberikan agama yang berasal dari Tuhan. Karena agama telah memberi batasan kebaikan dan keburukan. Manusia bebas berkehendak dan mamilih. Termasuk disini upaya mewujudkan pendidikan yang membebaskan dapat dilihat dari potensi kebebasan manusia dalam Islam.
Kemampuan manusia untuk menterjemahkan kebebasan Tuhan sangat tergantung pada sejauh mana manusia menggunakan akal dan pikirannya (potensi akliah) yang sekaligus mendapatkan bimbingan wahyu dari Tuhan. Sehingga kebebasan yang dimiliki dalam Islam tidak sekedar untuk kepentingan kemanusiaan, tetapi juga bernuansa teosentris, sebagai bentuk pertanggungjawaban. Islam sangat menghargai dan memberi peluang kebebasan pada manusia untuk berartikulasi dengan daya akal dan pikirannya, mengelola bumi dan langit serta beriteraksi dengan manusia lain.
Di sisi lain, dengan kebebasan itu manusia mempunyai tugas sebagai khalifatullah fil-ardhl, yang salah satu wujudnya adalah harus melakukan tugas-tugas perubahan sosial (transformasi sosial). Islam menurut Edward Mortimer, sebagaiman dikutip Jalaluddin Rahmat, lebih banyak menekankan dimensi sosial ketimbang dimensi ritual keagamaan, sehingga ia melihat Islam sebagai political culture .
Dalam perspektif Islam, transfoirmasi sosial dimaksudkan sebagai perubahan menuju kualitas hidup yang lebih baik, atau perubahan menuju masyarakat yang adil, demokratis dan egaliter. Islam telah menegaskan peranan agama dalam perubahan sosial dengan prinsip-prinsip yang menurut Jalaluddin Rahmat, adalah sebagai berikut : Pertama, Islam memandang bahwa kehadiran agama Islam di dunia dimaksudkan untuk mengubah masyarakat dari berbagai kegelapan kepada cahaya. Islam datang untuk membebaskan umat dari kehidupan yang berdasarkan kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan syariat meuju pengertian halal haram, dari kehidupan yang penuh beban dan belenggu (penindasan) ke arah kebebasan; Kedua, Islam memandang perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individu, dan harus disusul dengan perubahan institusional (Q.S. 13 : 11); Ketiga, Islam memandang bahwa perubahan individu harus bermula dari peningkatan dimensi intelektual (pengenalan) akan syariat Islam, dimensi idiologikal (berpegang pada kalimat tauhid). Dan dimensi ritual harus tercermin pada dimensi sosial.
Dengan kebebasan, manusia Islam dituntut untuk melakukan perubahan sebagai tugas kemanusiaan yang bernuansa profetis, yaitu untuk membebaskan manusia dari belenggu pemikiran, ketidakadilan sistemik dan eksploitasi ekonomi yang meporak-porandakan nilai-nilai kemanusiaan.

Pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia unutk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Pendidikan berarti tidak sekedar transfer of knowledge akan tetapi juga transfer of value juga berorientasi dunia akhirat (teosentris dan antroposentris) sebagi tujuannya.
Sementara itu Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan Islam dengan “bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”. Jadi pendidikan Islam tidak sekedar mengajarkan, tetapi lebih dari itu “membimbing” kearah kepribadian muslim yang utama. Termasuk di sini ajaran universal untuk membebaskan manusia dari struktur yang tiran.
Dari pengertian pendidikan Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam menekankan pentingnya bimbingan, bukan pengajaran. Dengan bimbingan memberi peluang kepada anak didik untuk lebih bebas menuangkan segala potensi yang di milikinya. Guru lebih berperan sebagai fasilitator, pendamping dan penunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak didik. Dengan kerangka dasar seperti ini guru bukanlah segala-galanya sehingga cenderung menganggap anak didik bukan apa-apa, selain manusia yang kosong yang perlu diisi. Diharapkan guru menghormati anak didik sebagai individu yang memiliki berbagai potensi.
Murid tidak dianggap seperti botol kosong, yang dapat diarahkan semaunya akan tetapi murid telah mempunyai potensi yang perlu dikembangkan ke arah yang mendewasakan, sehingga dapat memikul tugas-tugas perubahan, apalagi menghadapi masyarakat yang lemah dan marginal baik secara politik, ekonomi, sosial dan budaya seperti di Indonesia.
Pendidikan juga merupakan upaya memanusiakan manusia dengan komunikasi antara sesama manusia dan linghkungannya. Bagi pendidikan Islam ditambah dengan – dan dengan Tuhannya. Ungkapan ini menandaskan bahwa mansuia tidak otomatis menjadi manusia yang sebanrnya tanpa bantuan pendidikan. Selama manusia menjadi manusia tetap memerlukan pendidikan karena pendidikan berlangsaung seumur hidup (long live education).
Ciri lain dari pendidikan adalah adanya kualitas pertumbuhan organisasi yang hidup. Akibatnya pendidikan selalu berubah untuk menyesuaikan perubahan dan perkembangan zaman. Pendidikan mengalami transformasi. Dalam kaitannya dengan hal ini Schgeffler ed Joe Prak sebagaimana dikutip Ludjito, mengatakan : Education, like art, literature and other phases of social life, has changing styles in problems in response to changing condition. Pendidikan juga berarti suatu proses yang bersifat dinamis yang menyangkut berbagai unsur manusia maupun non manusia. Proses ini oleh sosiolog biasanya disebut proses sosialisasi dan oleh antropolog disebut inkultrurasi. Dari kedua proses ini lahir berbagai macam teknik pelaksanaanya yang dinamakan metodologi pendidikan dan pengaajaran.
Untuk memberikan gambaran tentang ciri pendidikan Islam, Azumardi Azra memberikan rumusan bahwa ciri pendidikan Islam adalah : Pertama, Penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allâh SWT. Sebagai ibadah maka dalam pencarian, pendidikan Islam sangat menekankan nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini maka kejujuran, sikap tawadu’, menghormati sumber pengetahuan merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu dipegangi oleh setiap pencari ilmu. Kedua, Pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam satu kepibadian; Ketiga, Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tangungjawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia.
Dari karakteristrik diatas dapat dilihat adanya keseimbangan antara iman, ilmu dan amal, antara apa yang ada dalam pikiran dan aktualisasi kreatifitas nyata anak didik, dan juga adanya potensi pendidikan pembebas berupa penyaluran potensi manusia secara maksimal.
Secara umum tujuan pendidikan menurut Park adalah mencapai titik optimal dari pengembangan seluruh potensi manusia (fitrah), sehingga bisa menghadapi semua tantangan dan rintangan dalam perjalanan hidupnya. Bertnan Russel mengemukakan empat karakterisatik universal tujuan pendidikan yaitu : vitality (vitalitas), ialah kesegaran dan kebugaran jasmani; Caurage (keberanian) yaitu bebas dari ketakutan yang tak beralasan, sencitivennness (tepo saliro) yaitu menaruh perhatian yang cukup pada orang lain; intellegence yaitu penuh gairah untuk selalu ingin tahu dengan berbagai akltivitas keilmuan dan pikiran yang terbuka
Sementara itu UNESCO (2001) telah merumuskan visi dasar pendidikan abad 21, sebagai bekal mengembangkan pendidikan di jagad ini, yaitu : (1). Belajar bagaimana berfikir, learning to think, (2). Belajar bagaimana mengetahui, learning to know, (3). Belajar hidup atau belajar bagaimana berbuat/bekerja, learning to do, (4). Belajar bagaimana tetap hidup atau sebagai dirinya, learning to be, dan (5). Belajar untuk hidup bersama, learning to live together.
Dalam perspektif Islam, tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Pertama, Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan dimuka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-trugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan; Kedua, Mengarahkann manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kehalifahannya dimuka bumi diaksanakan dalam rangka beribahdah kepada Allâh, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan; Ketiga, Mengarahkan manusia agar berahkak mulia, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kehalifahannya; Keempat, Membina dan megarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan ketrampilan yang dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kehalifahannya; Kelima, Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat Tujuan tersebut kalau diringkas akan menciptakan anak didik menjadi manusia betrytaqwa kepada Alah Swt dan berahlakuik karoimah.
Dari tujuan pendidikan Islam yang umum ini diaplikasikan menjadi tujuan pendidikan yang khusus, melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam secara komprehensif, sehingga tujuan mencerdaskan dan membimbing kearah keluhuran budi agar tercipta manusia utama yaitu manusia yang senantiasa bebas mengaktualisasikan potensi yang dimiliki akan tercapai.
Pendidikan Islam harus komprehensif dalam membimbing anak didik baik dari segi tujuan, kurikulum mapun lingkungan yang kondusif bagi terciptanya suasana yang demokratis, humanis dengan paradigma pembebasan. Untuk melakukan transformasi sosial memiliki prasayarat yaitu manusia tercerahkan, kreatif dan dinamis. Pemberdayaannya adalah melalui pendidikan pembebasan, yang dilakukan oleh tripartit pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan Islam diharapkan lebih bercorak pembebasan daripada penindasan. Melalui potensi diatas semoga upaya menjadikan pendidikan yang transformatif dan membebaskan dapat terwujud. Maka unsur humanisme, demokratis dan egaliter menjadi penyangga utama bagi berlangsungnya praktek pendidikan yang membebaskan.

Pendidikan yang Membebas
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat sekuler, terutama kerana pendidikan Islam tidak hanya didasarkan atas hasil pemikiran manusia, dalam menuju kemaslahatan umum atau hunanisme universal. Pendidikan Islam pada akhirnya bermuara pada pembentukan manusia sesuai dengan kodratnya yang mencakup dimensi imanensi (horisontal) dan dimensi transendensi (vertikal : hubungan dan pertanggungjawaban pada Tuhan).
Wacana pendidikan dengan paradigma pembebasan ini mula-mula terlontar dari para pemikir Katolik di Amerika Latin, seperti Paulo Freire. Ia melakukan pemberontakan akibat dominasi kelompok tertentu yang terbuai dalam struktur yang menindas. Friere mengkritik pendidikan gaya bank, dimana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukan inter komunikasi, tapi guru mnyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan di ulangi dengan penuh oleh para murid. Ruang gerak yang diberikan kepada murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.
Dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakn sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan, kepada mereka yang dianggap tidak berpengetahuan. Menganggap bodoh kepada orang lain sebagai bentuk pendidikan penindasan.
Gambaran pendidikan gaya bank dapat dilihat pada ilusatrasi sebagai berikut : (1). Guru mrngajar murid diajar (2). Guru mengetahui segala sesuatu murid tidak tahu apa-apa (3). Guru berfikir, murid dipikirkan (4). Guru bercerita, murid patuh mendengarkan (5). Guru menentuka peeraturan murid diatur (6). Giuu memilih dan melaksanakan poilihannya muriod menyetujiui (7). Guru bewrbuat murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya (8). Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menuyesuaikan dengan pelajaran itu (9). Guru mencampur adukan kewenagan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid (10). Guru adalh subyek dalam proses belajar mengajar.
Secara praksis Hanif Dzakiri menggambarkan praktek-praktek pendidikan yang menindas seperti budaya anti dialog, pendekatan pendidikan kaum penindas biasanya mengabaikan bahkan sengaja menhilangkan komunikasi sebagai aspek penting dalam meningkatkan derajat manusia. Dalam melestarasikan pendidikan anti dialog ini mereka melakukan beberapa cara seperti : Bangga menaklukan pihak lain baik sengaja maupun tidak sengaja, memecahbelah dan menguasai, memanipulasi untuk melenggengkan dominasi. Arah semua itu akan mengaburkan makna kebudayaan, dimana akan menjadikan budaya menjadi kepentingan pihak penindas, kaum tertindas dibuat tak berdaya karena semuanya telah dimanipulasi sedemikian rupa.
Sementara itu dalam pendidikan Islam terdapat peraktek-praktek pendidikan yang kurang mencerminkan pendidikan pembebasan, yaitu : Pertama, arah pendidikan yang kurang integral/komprehensif. Maksdunya adalah pendidikan Islam sering tidak menekankan ranah afeksi (nilai dan sikap) dan psikomotorik (prilaku dan penerapan) namun lebih menekankan ranah kognisi (hafalan dan pengetahuan); Kedua, Tiadanya kebebesan akademis dan kurang mencerminkan pendidikan yang demokratis. Pendidikan dijadikan ajang indoktrinasi dan pemaksaan-pemaksaan paham. Guru sering berprilaku otoriter dan doktriner. Ketiga, Kurang adanya kemandirian dan tidak dibebaaskan untuk menghasilkan berbagai produk kreatif dan inovatif, sebab dipenuhi oleh intervensi kekuasaan; Keempat, budaya dialog yang sejak masa Nabi hingga masa tabi’in melalui tradisi mujadalah, telah lama redup akibat umat Islam dirundung kejumudan yang berkepanjangan. Hal ini dipicu dengan anggapan pintu ijtihad telah tertutup., sehingga menjadikan tradisi keilmuan Islam mandul; Kelima, Sering terjadi praktek kekerasan dalam dinia pendidikan kita. Kekerasan telah menjadi budaya masyarakat. Sebagai contoh masih dominannya antara hukuman daripada ganjaran, apalagi hukuman fisik yang sama sekali jauh dari nilai-nilai humanisme.
Mengingat pendidikan adalah transfer, sosialisasi dan enkulturasi ilmu, nilai dan norma dan berfungsi sebagai pengembangan potensi, pewarisan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya, maka perlu pembumian konsep pendidikan Islam yang humanis, demokratis, progresif. Dengan kata lain perlu pendidikan pembebasan agar tujuan menciptaan manusia yang dewasa, mandiri, dan pandai menghargai orang lain dapat tercapai. Pengembangan potensi dapat berupa potensi intelektual, sikap dan prilaku yang berupa penanaman nilai-nilai kebaikan, keadilan, kebenaran, dan kejujuran serta memperteguh aspek budaya sebagai tiang pancang kreatifitas daya cipta, rasa dan karsa manusia.
Untuk meneliti dan melacak konsep pendidikan Islam yang membebaskan, harus kembali pada landasan teologis Islam yaitu tauhid. Manusia dihadapan Tuhan adalah sama. Iman berimplikasi pada semangat juang (revolusioner) untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran dan mencerahkan masyarakat yang terbodohkan.
Konsep Islam tentang pembebasan sesuai dengan misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ajaran tauhid sebagai kunci pokok Islam, dengan jelas menunjukan bahwa tidak ada penghambaan/penyembahan kecuali kepada Allah, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Seorang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat berarti telah melpaskan dirinya dari belenggu dan subordinasi apapun.
Pendidikan sebagai pranata sosial juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakikat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran, bahwa manusia itu sama didepan Allah. Pembedanya adalah kadar ketaqwaan sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif.
Pemilikan ilmu dalam pandangan Islam diharapkan mampu memupuk dan mempertebal keimanan. Kaitan antara iman dan ilmu, menurut Jalaludin Rahmat, adalah bahwa iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme, kemunduran, tahyul dan kebodohan. Sebaliknya ilmu tanpa iman akan membuat manusia menjadi rakus, dan berusaha maksimal memuaskan kerakusannya, kepongahannya, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Jika dilihat dari persepktif ini, Islam merupakan agama yang memadukan iman dan ilmu yang kemudian melahirkan amal. Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan mampu menumbuhkan pemahaman yang benar tentang hakikat eksistensi manusia. Pendidikan dunia akhirat inilah yang bisa menjamin kelestarian nilai-nilai kemnusiaan dimasa mendatang.
Dapat disimpulkan bahwa, Islam adalah agama yang consen terhadap upaya pembebasan manusia tercermin dari teologi pembebasannya. Secara idealistik melalui ajaran normatif dan historinya, Islam sangat menekankan pendidikan pembebasan. Namun secara realistik masih perlu perjuangan, tekad dan kemauan mewujudkan pendidikan Islam yang membebaskan. Hal ini dapat melalui perobakan paradigmatik, maupun teknis se[perti perubahan kurikulum pendidikan yang kondusif bagi tumbuhnya semangat pembebasan, demokrasi dan humanisme.
Beberapa alternartif rumusan pendidikan pembebasan dalam Islam yang dapat dilakukan adalah sebagai berukut : Pertama, Adanya kurikulum yang dinamis. Islam sepanjang masa kegemilangannya, memandang kurikulum pendidikan sebagai alat untuk mendidik generasi muda, dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat minbat, kekuatan-kekuatan dan ketrampilanb serta menyiapkan mereka dengan baik untuk mengajarkan hak dan kewajiban memikul tanggungjawab terhadap diri, keluarga, bangsaanya dan aktif memajukan masyarakat.
Kurikulum pendidikan Islam harus dinamis dan memberi ruang bagi terwujudnya kreatifitas peserta didik, mempunyai semangat untuk melakukan perubahan sosial, kritis terhadap kekuasaan atau struktur yang tiran. Kurikulum pendidikan Islam harus integral dan much dengan kondisi sosial masyarakat. Sehingga pendidikan dapat dijadikan sebagai energi dan spirit perubahan sosial,
Tuujuan pendidikan harus diarahkan pada pembentukan pribadi yang bermental pembebas, humanis dan demokratis. Metode yang digunkan adalah latihan, pembiasaan, contoh (uswah hasanah), hadiah dan hukuman (reward and punishman). Juga metode pengajaran yang dapat mengantarkan pada kebebasan berpikir anak didik, seperti debat, diskusi, dialog, problem solving sehingga mereka mampu membaca realitas masyarakatnya dengan baik.
Kedua, Perubahan paradigma pendidikan Islam, yaitu merubah paradigma dari paradigma otoriter ke paradigma demokratis, tertutup ke keterbukaan, doktriner ke partsiipatoris. Perombakan paradigmatik tidak bisa ditawar lagi, mengingat kompleksitas problem umat semakin meningkat; Ketiga, Adanya sinkrionisasi antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat dimana pendidikan yang berorientasi pembebasan dapat tercapai. Masyarakat perlu membudayakan tradisi kritik, dialog, keterbukaan, semangat pluralisme dan praktek-praktek praktis yang menyentuh problem-problem kaum mustadhafin. Baik secara politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Tentu dengan pendekatan kultural akan sangat berarti dalam mencerahkan rakyat dalam program penyadaran dan pemberdayaan bukan pemaksaan.
Setidaknya kegelisahan akan model pendidikan yang membodohkan dan hanya berorientasi knowledge ansich dan kurang memepertimbangkan pada nilai (value) dapat teratasi. Mengingat kebutuhan manusia yang berpihak pada nilai, tidak sekedar kepentingan sesaat sangat diharapkan, disaat kita melakukan tugas-tugas liberatif atau pemberdayaan masyarakat.
Demikian tulisan sederhana ini saya buat, semoga ikhtiar dan harapan mewujudkan pendidikan yang membebaskan akan terwujud. Semoga bermanfaat dan menjadi sumbangan berarti bagi pengembangan pendidikan Islam dimasa mendatang.












DAFTAR PUSTAKA


Prof. Drs. H.A Ludjito, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, Seminar Sehari SMF Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang 14 Oktober 1995.

Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung : Mizan, 1997

Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, Yogjakarta : LKiS, 1993

Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999

Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam A. Syafii Ma’arif dkk., Pendidikan di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991

Hanif Dzakiri, Islam dan Pembebasan, Jakarta : Djambatan dan Pena, 2000

Hasan Langgulung, Beberapa Pengertaian Tentang Pendidikan Islam, Bandung : Al Maarif, 1980

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Al-Maarif, 1980

Prof. Dr. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999

Drs. H. Abudin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta : LP3S, 1995

Dr. Ramayulis, Guru Agama Cenderung Otoriter dan Doktriner, Kompas, 1994

Drs. Muhaimin, M.A dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : Trigenda Karya, 1993

Al-Taumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983

Monday, April 23, 2007

CAKRAWALA

Kata TEKNOLOGI mungkin sudah tidak asing bagi telinga kita, apalagi sebagai praktisi pendidikan. akan tetapi apabila kita melihat realitas yang ada kelihatannya masyarakat praktisi pendidikan kita kurang memahami apa definisi ilmiah teknologi pendidikan dan ruang ligkup kawasan/ garapan teknologi pendidikan. Sebagai sampel adalah rendahnya animo/ minat para praktisi pendidikan kita (khususnya di Daerah Kaltim) baik Guru maupun Dosen yang masih enggan mengambil jurusan Teknologi pendidikan/ Teknologi Pembelajaran (TP) ketika melanjutkan studi kejenjang (S2). Mengutip peryataan Prof.Dr.Yusuf Hadi Miarso,M.Sc,(Bapak Teknologi Pembelajaran Indonesia) "seharusnya para guru dan dosen mengambil jurusan TP ketika S2 atau S3 sebab ketika kita (para guru/dosen) menginginkan peningkatan mutu pendidikan harus berangkat dari perbaikan di dalam kelas yakni proses PBM, nah jawaban untuk perbaikan itu adanya ya.. di jurusan Teknologi Pembelajaran.(Menabur Benih Teknologi Pembelajaran)"
Berangkat dari rendahnya animo guru dan dosen pada jurusan TP mungkin sekilas kita perlu tahu "apa Teknologi Pendidikan atau Teknologi Pembelajaran (TP) dan apa saja wilayah garapannya". Berangkat dari sejarah Teknologi Pembelajaran (TP)mempunyai dua definisi pertama "pembelajaran" lebih sesuai dengan funsi teknologi, kedua, "pendidikan lebih sesuai untuk hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan.Anggapan lain bahwa "pembelajaran" tidak hanya mencakup pengertian pendidikan mulai TK hingga SLTA (K-12)melainkan juga mencakup situasi pelatihan (training). (Barbara B.Seels&Rita C.Richey; 1994). Knirk dan Gustafson (1986) mengatakan, kata "pembelajaran" khususnya berkenaan dengan permasalahan belajar dan mengajar, sedangkan "pendidikan" terlalu luas karena mencakup segala aspek pendidikan.

KAWASAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

Ada 5 (lima) kawasan garapan dalam Teknologi Pendidikan, yakni
1. kawasan desain
2. kawasan pengembangan
3. kawasan pemanfaatan
4. kawasan Pengelolaan
5. kawasan penilaian

Kelima kawasan diatas merupakan satu kesatuan wilayah yang harus sinergi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain guna pencapaian efektifitas pembelajaran yang bermutu.